Thursday, January 19, 2012

Mulut Kita Berubah-ubah


MULUT KITA BERUBAH-UBAH


baca dan perhatikan mulut anda baik2. hohoho.....

-         Ini pekerjaan konyol. Orang lain mungkin akan sinis, untuk apa pekerjaan ini dilakukan. Tapi karena ingin tahu saja maka mengukur mulut dilakukan.

-         Berapa ukuran mulut? Saat diam panjangnya 4cm. Ketika tertawa lebar panjangnya 6cm, lebarnya (ketika bukak 4cm). ukuran mulut berubah lagi ketika menguap, sebuah posisi lisan paling pwol, lebarnya 5,5cm, panjang 6cm. Mulut mengkerut lagi ketika marah, tinggal 3cm. Ketika mesem, panjangnya menjadi 4,5cm.



-         Tiap orang ukuran mulutnya tidak sama. Apalagi jika dibandingkan dengan orang asing. Mulut kita lebih kecil. Meski demikian tidak bias dianggap remeh. Ada peribahasa. “si besar mulut“ ungkapan dalam menggambarkan tukang bicara. Ada istilah gerakan tutup mulut, artinya diam, tidak mau bicara.

-         Akan berbeda lagi dengan sebutan uang tutup mulut, artinya uang sogok untuk membungkam orang lain agar tidak membocorkan  rahasia orang lain. Mulutmu adalah harimaumu. Kalau kita tidak hati-hati bicara akan kena terkam sendiri, dan sebagainya.

-         Mulut, adalah cerminan alias pantulan hati seseorang. Perasaan seseorang bias dilihat dari posisi mulutnya. Seseorang yang gundah, mulutnya berbeda ketika senang. Mulut orang yang takut beda ma orang yang menggebu ingin bicara. Bahkan, mulut orang melamar gadis beda dengan gadis yang dilamar.

-         Apa yang keluar dari mulut politisi –khususnya menjelang pemilu- beda dengan ucapan yang keluar dari mulut orang alim. Kata-kata dari mulut polisi tidak akan sama dengan kalimat orang yang kena tilang. Kata-kata orang mabuk beda dengan kata-kata orang yang baru saja keluar dari masjid.

-         Dalam mulut ada benda kecil yang tak bertulang. Dia merupakan alat penting, bahkan terpenting dalam menjalin komunikasi dengan orang lain. Dari lidah ini munculberbagai makna. Tergantung siapa yang mengucapkan. Kata “damai” punya makna yang berbeda jika diucapkan orang berlainan pula. Misalnya, seseorang ibu rumah tangga mengatakan “damai pak” tidak sama artinya dengan kata yang sama yang diucapkan orang kena tilang polisi lalu lintas.

-         Sama-sama mengucapkan kata “Alhamdulillah” punya kedalaman makna yang berbeda  antara orang yang bersin, dan orang yang baru keluar dari tahanan. Atau antara orang yang terlepas dari sergapan binatang  buas dengan seorang yang melihat hasil pendaftaran jadi pegawai. Eksprsinya berbeda, ada yang mengucapkan Alhamdulillah sambil loncat-loncat, sujud syukur, ngelus dada, ngusap air mata, merangkul orang tuanya, dan sebagainya.

-         Sekali lagi, lisan adalah pantulan hati seseorang. Maka hati-hati menjaga lisan. Sebab, dengan organ tubuh yang satu ini seseorang bias celaka, atau bahagia. Dengan mulut, seseorang bias menjadi penghuni neraka atau sorga. Mulut pula yang menentukan seseorang dihormati atau di benci.

-         Apakah ada ucapan yang lebih baik dari orang yang menyeru ke jalan Allah? Pertanyaan ini terdapat dalam Qur’an. Orang yang lisannya selalu menyeru, mengajak, berdakwah, member nasehat, lebih mulia pilihan kata dan maknanya. Lisan yang seperti itu tidak salah dikatakan sebagai mulut sorgawi.

-         Rumah tangga bias berkualitas jika anggota keluarganya bias menahan ucapan, memilih kata yang baik, dan dapat berkomunikasi dengan orang lain secara baik pula. Mulut, kunci sukses seseorang dilingkungannya. Akan lebih berharga jika kata-kata yang hendak keluar dari mulut ini “ditimbang” dulu dengan neraca hati.

-         Mulut begitu penting. Separuh ajaran Nabi terkait dengan mulut. Sifat Nabi, Shiddiq (benar/jujur), amanah, tabligh semua dekat dengan fungsi mulut. Begitu juga fathonah. Nabi juga banyak menyinggung soal mulut. Misalnya, Qul khoiron au liyashmut (bicaralah yang baik, jika tidak bias diamlah). Tebarkan salam diantaramu (mulut juga). Sepertiga isi perut udara, sepertiga makanan, dan sepertiga minuman, ini juga lewat mulut.

-         Sampai-sampai ketika mi’raj, nabi mendapat signal pentingnya menjaga mulut. Nabi melihat anak lembu keluar dari lubang kecil, setelah itu bingung akan masuk kembali, tetapi tidak bisa. Nabi Tanya pada malaikat Jibril, “ini gambaran apa?” ini contoh, orang yang terlanjur mengucapkan sesuatu, kalau salah tidak akan bisa ditarik kembali, jawab malaikat.

-         Konsistensi mulut, hati, dan perbuatan merupakan tanda orang beriman. Sebaliknya, kalau antara ketiganya tidak sejalan, orang tersebut disebut munafiq. Shalat kita harus khusyuk, salah satu tanda khusyuk, tahu arti dari yang dibaca (jadi tahu maksud ucapan mulutnya). Qur’an melarang kita shalat kalau apa yang kita ucapkan tidak kita sadari (mabuk).

-         Sangat tepat sebuah peribahasa menyatakan  Salamatul Insan Fi Hifdzil Lisan.” Artinya, selamat tidaknya seseorang tergantung bisa tidaknya dia menjaga mulutnya. Ada pepatah mengatakan, ”Mulutmu adalah umpama kudamu, andaikata engkau lepaskan kendalinya, ia lari semaunya. Tapi bila engkau kendalikan, dia akan berjalan teratur sesuai kemamuanmu.”

-         Secara tegas Nabi mengingatkan, “Peliharalah lidahmu (mulut, Red), karena nanti manusia akan dicampakkan ke dalam nerak, entah apakah mukanya, ataukah batang hidungnya yang tercampak lebih dahulu gara-gara tidak dapat memelihara lidahnya.”

-         Selain mulut, isi mulut ini juga menarik untuk dikaji. Sampai-sampai, Imam al-Ghazali secara khusus menulis soal lidah. Kata beliau, ada 10 penyakit lidah. Diantaranya, bicara yang tidak perlu. Banyak berbual atau banyak kelakar. Obrolan cabul tentang kemaksiatan, perzinahan, perjudian, permabukan, dsb. Bertengkat, bersitegang leher, dan mau menang sendiri. Sentimen dan menyerang. Mengutuk dan melaknati orang. Mengejek dan berolok-olok, berjanji palsu, mengumpat dan mengomongkan orang lain, serta mengadu domba dan menfitnah.

-         Dengan demikian sekarang terpulang pada kita. Mau menjaga mulut dengan sebaik-baiknya, atau kita biarkan saja bergerak secara bebas tanpa batas. Tetapi ujung-ujungnya dihadapkan pada dua pilihan; sorga atau neraka. Sampai disitu saya tidak berani mengukur mulut lagi. Sebab meski kecil ternyata sebagai penentu baik tidaknya seseorang, baik dihadapan sesama maupun dihadapan Allah. Tetapi saya tetap bersyukur karena diberi mulut yang penuh arti, harapan dan skaligus ancaman.