PERKEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN
PADA MASA DINASTI
ABBASIYAH
Oleh
: Tu’nas Fuaidah
A. Pendahuluan
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal
sejak masa silam sampai dengan masa sekarang ini. Karena didorong oleh
kebutuhan dan kemakmuran hidup manusia, maka peradilan merupakan sesuatu yang
tak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya. Sebab, lembaga peradilan adalah
merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan
sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Tidak mungkin pemerintahan
di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan berdiri tanpa menegakkan peradilan.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa,
baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun
bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terdapat unsur
untuk memerintah dalam hal kebaikan dan mencegah bahaya kedhaliman,
menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menyelamatkan mereka dari
bahaya kesewenang-wenangan, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan
peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau
negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam
kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana
mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah
negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan
perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak
ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.[1]
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal,
memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga
peradilannya seperti undang-undang Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam,
Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua
pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai dengan
tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu.
Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan perhatian pada lembaga
peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah, sebuah dinasti yang dianggap sebagai
zaman keemasan bagi ummat Islam. Dinasti ini didirikan oleh Abu al Abbas al
Shaffah pada tahun 132H/750M, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Sebuah
periode yang dapat dikatakan panjang dalam sebuah rentang kekuasaan karena
berlangsung dalam waktu kurang lebih lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258
M).
B. Hukum dan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan
kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan
Ummayah. Sebagaimana Ummayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru
kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah
daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain
bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan.
Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir. Pada
awalnya, sistem pemerintahan
ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang di wakili oleh wazir,
pada awalnya kedua pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang
berkaitan dengan pemerintahan daerah.
Namun, dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang
menanganinya. Dan Penunjukan
ini dilakukan oleh khalifah. Salah
satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli atau
hakim. Para Qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang
berpengaruh, dan mereka menerapkan hukum Islam bagi permasalahan sipil warga
muslim dan diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap
perkara yang diajukan umat islam kepada badan peradilan tersebut.
Terdapat beberapa hal yang tumbuh dalam perkembangan peradilan di periode
Abbasiyah, antara lain:
1. Munculnya mazhab-mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan
Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para
ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan
ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu
pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah,
maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama
untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam
bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767 M)
yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i
(w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795
M) sebagai ulama mazhab Madinah dari
kalangan muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattho’.
Kemudian Imam Muhammad bin Idris
Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang
liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya
lahir
pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang
ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para
ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam
soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap
dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembagiannya,
rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup
syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak
yang berperkara dan lain sebagainya. Selain
masalah peradilan, para ulama tersebut juga menjelaskan tentang aturan hukum
yang mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik
dan sosialnya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat
pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah
berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim
diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para
penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya, para hakim memutuskan
perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus
perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan
Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan
mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada
hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Secara
umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti
Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa
Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa
ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali
hukum dari al-Qur’an dan
al-Sunnah.
Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara
berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan
apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka
hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang
berperkara.
2. Menjauhnya fuqaha’
dari jabatan hakim
Ada satu keinginan baik dari
pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua
perbuatan mereka diwarnai dengan celupan agama. Karena itu mereka membimbing
hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah
para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam
kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah.
Karena dasar itulah maka para
ulama banyak yang menolak menjadi hakim. Sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah
menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah
tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sangat
sering merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah
dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah
dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan
Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap
Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam
bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang
berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim,
menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada
satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal
ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi
sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far
Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh
daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan
Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum
bagi ummat Islam.
3. Lahirnya istilah qadhil qudha
Istilah qadhil qudha pada masa sekarang ini dapat kita
katakan sebagai menteri kehakiman. Qadhil qudhah ini berkedudukan
di ibu kota negara. Dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Tokoh pertama yang mendapat gelar qadhil
qudhah adalah Al-Qadhi Abu Yusuf
Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu
Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa
pemerintahan al-Mahdi dan dua orang
putranya al-Hadi dan Harun al-Rasyid.
Qadhil qudhah
(Mahkamah agung) di Abbasiyah memiliki peran yang sangat sentral bagi qadhi-qadhi di daerah, hal ini
dikarenakan mereka sangat dekat dengan para khalifah dan menjadi pimpinan para qadhi
di seluruh negeri.pada
masa ini qadhil
qudhah juga mempunyai hak untuk mengangkat pejabat-pejabat peradilan yang
memiliki kompetensi, baik yang berada di pusat maupun yang berada di daerah. Dan
mereka juga diberi wewenang untuk memberhentikan pejabat bawahannya. Selain itu
juga mereka mempunyai tugas meneliti tingkah laku qadhi bahkan sampai
pada putusan-putusan yang diambil oleh para qadhi dalam mengambil fatwa
dan putusan hukum.
4. Beberapa bidang lain yang termasuk dalam bidang pelaksanaan hukum.
Pada periode abbasiyah,
lembaga hukum disebut juga dengan al-nidham al-madhalim, yaitu lembaga
yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan
ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada
dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.
Lembaga ini terdiri dari tiga
macam bagian, antara lain:
a. Al-Qadha
Badan ini bertugas membuat fatwa-fatwa
hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atau
ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini juga dipimpin oleh qadhi,
yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara
sengketa, perselisiham bahkan sampai dengan masalah waqaf. Pada masa ini, di
setiap wilayah diangkat beberapa hakim, dan setiap perkara diselesaikan sesuai
dengan mazhab yang dianut oleh masyarakat.
b. Wilayatul Hisbat
Pejabat badan al-hisbat disebut
juga dengan al-muhtasib, disini al-muhtasib bertugas mengatur
ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang
butuh penanganan segera. Mereka juga bertugas dalam menegakkan amar ma’ruf
nahi munkar, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, mengawasi
ketertiban pasar, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.
c. Wilayatul Madhalim
Pejabat badan al-madhalim disebut
dengan qadhi al-madhalim atau shahib al-madhalim. Kedudukan badan
ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi
al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh
qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat
oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.
Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak
masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara
penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian
dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara
yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim.
Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:
1) Para pembela dan
pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan
hukum.
2) Para hakim yang
mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada yang berhak.
3) Para fuqaha’
tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam
menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.
4) Para katib yang
mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang
5) Para saksi memberi
kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang
diambil hakim adalah benar dan adil.
5. Penggunaan tempat untuk mahkamah, waktu dan
pakaian qadhi.
Pada masa ini persidangan yang
dilakukan biasanya di masjid. Atau terkadang pengadilan diadakan disuatu majlis
yang luas, yang memiliki syarat kesehatan dan dibangun ditengah-tengah kota,
dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk pesidangan memeriksa
perkara. Dan para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat
yang lain.
Bagi para qadhi atau ulama’
memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi
pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka
dengan rakyat umum.
Dalam pelaksanaannya para qadhi
mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu
berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.
6. Kemerosotan nilai
peradilan dan kekuasaan hakim
Dalam perkebangan masa
abbasiyah selanjutnya, khususnya pada dekade terkhir, keadaan pemerintahan
telah sangat rusak dengan merata, sehinngga urusan pengadilan pun tidak luput
dari kerusakan, dan kemerosotan. Ketimpangan yang terjadi pada saat itu antara
lain seperti: orang-orang yang diangkat sebagai hakim, diharuskan membayar
sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.
Jika keadaan pemerintahan melemah, maka
lemahlah kekuasaan hakim dan berangsur-angsur pulalah surutnya daerah hukum
yang menjadi wewenang hakim. Keadaan seperti itu berangsur surut dan semakin
surut, sehingga berakibat pula pada wewenang hakim yang hanya menyelesaikan
sengketa dan akhwal syakhsiyah saja.
C. Penutup
Dalam periode pemerintahan
Bani Abbasiyah, bidang peradilan mendapat perhatian yang sangat besar, hal
tersebut dapat dilihat dengan berkembangnya kreasi-kreasi baru dalam bidang
peradilan, diantaranya adalah pengangkatan Qadhil qudhah, terdapatnya wilayatul
madhalim, wilayatul hisbat, dan penggunaan pakaian dalam
persidangan.
Pengangkatan hakim yang pada
mulanya hanya satu orang pada tiap satu daerah dari pengikut mazhab mayoritas
di negeri itu, namun seiring dengan berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat
bertambah, maka hkim pun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang
terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
Akibat perhatiannya yang
begitu besar tehadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintah Abbasiyah sering
mengintervensi keputusan-keputsan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang
mempunyai kompetensi ini, menolak menjadi hakim.
Adanya sikap toleransi hakim
terhadap masyarakat dalam bidang mazhab, sehingga apabila yang berperkara tidak
semazhab dengan hakim tersebut, maka dia menyerahkannya kepada hakim lain yang
semazhab dengan pihak yang berperkara.
Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan
dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.
Hitti, Philip K., History of The Arabs;
From the Earliest Time to the Present, terjemah: Cecep Lukman dan Didi
Slamet, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.
Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah:
Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.
Lapidus, Ira M., A History of Islamic Societies,
terjemah: Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.
Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadha fi Al-Islam, terjemah: Imron AM., Surabaya: Bina Ilmu, tt.
Munir, Samsul, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.
Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran
Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Schacht,
Joseph, An Introduction to Islamic Law, terjemah: Moh Said, dkk., Palembang: IAIN Raden Fatah, 1977.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam:
Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.