Friday, December 17, 2010

Perkembangan Hukum dan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


PERKEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN
 PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

Oleh : Tu’nas Fuaidah


A.    Pendahuluan
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak masa silam sampai dengan masa sekarang ini. Karena didorong oleh kebutuhan dan kemakmuran hidup manusia, maka peradilan merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya. Sebab, lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Tidak mungkin pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan berdiri tanpa menegakkan peradilan.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terdapat unsur untuk memerintah dalam hal kebaikan dan mencegah bahaya kedhaliman, menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menyelamatkan mereka dari bahaya kesewenang-wenangan, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.[1]
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal, memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilannya seperti undang-undang Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu.
Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan perhatian pada lembaga peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah, sebuah dinasti yang dianggap sebagai zaman keemasan bagi ummat Islam. Dinasti ini didirikan oleh Abu al Abbas al Shaffah pada tahun 132H/750M, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Sebuah periode yang dapat dikatakan panjang dalam sebuah rentang kekuasaan karena berlangsung dalam waktu kurang lebih lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M).
B.     Hukum dan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah. Sebagaimana Ummayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan.
Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir. Pada awalnya, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang di wakili oleh wazir, pada awalnya kedua pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.  Namun, dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya. Dan Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah. Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli atau hakim. Para Qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang berpengaruh, dan mereka menerapkan hukum Islam bagi permasalahan sipil warga muslim dan diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat islam kepada badan peradilan tersebut. 
Terdapat beberapa hal yang tumbuh dalam perkembangan peradilan di periode Abbasiyah, antara lain:
1.      Munculnya mazhab-mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M)  sebagai ulama mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattho’.  Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya. Selain masalah peradilan, para ulama tersebut juga menjelaskan tentang aturan hukum yang mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik dan sosialnya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya, para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Quran dan al-Sunnah.  Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.
2.      Menjauhnya fuqaha’ dari jabatan hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka diwarnai dengan celupan agama. Karena itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah.
Karena dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim. Sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sangat sering merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam.
3.      Lahirnya istilah qadhil qudha
Istilah qadhil qudha pada masa sekarang ini dapat kita katakan sebagai menteri kehakiman. Qadhil qudhah ini berkedudukan di ibu kota negara. Dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Tokoh pertama yang mendapat gelar qadhil qudhah  adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan  al-Mahdi dan dua orang putranya al-Hadi dan Harun al-Rasyid.
Qadhil qudhah (Mahkamah agung) di Abbasiyah memiliki peran yang sangat sentral bagi qadhi-qadhi di daerah, hal ini dikarenakan mereka sangat dekat dengan para khalifah dan menjadi pimpinan para qadhi di seluruh negeri.pada masa ini qadhil qudhah juga mempunyai hak untuk mengangkat pejabat-pejabat peradilan yang memiliki kompetensi, baik yang berada di pusat maupun yang berada di daerah. Dan mereka juga diberi wewenang untuk memberhentikan pejabat bawahannya. Selain itu juga mereka mempunyai tugas meneliti tingkah laku qadhi bahkan sampai pada putusan-putusan yang diambil oleh para qadhi dalam mengambil fatwa dan putusan hukum.
4.      Beberapa bidang lain yang termasuk dalam bidang pelaksanaan hukum.
Pada periode abbasiyah, lembaga hukum disebut juga dengan al-nidham al-madhalim, yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.
Lembaga ini terdiri dari tiga macam bagian, antara lain:
a.      Al-Qadha
Badan ini bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atau ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini juga dipimpin oleh qadhi, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisiham bahkan sampai dengan masalah waqaf. Pada masa ini, di setiap wilayah diangkat beberapa hakim, dan setiap perkara diselesaikan sesuai dengan mazhab yang dianut oleh masyarakat.
b.      Wilayatul Hisbat
Pejabat badan al-hisbat disebut juga dengan al-muhtasib, disini al-muhtasib bertugas mengatur ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang butuh penanganan segera. Mereka juga bertugas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, mengawasi ketertiban pasar, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.
c.       Wilayatul Madhalim
Pejabat badan al-madhalim disebut dengan qadhi al-madhalim atau shahib al-madhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.  Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:
1)      Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.
2)      Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada  yang berhak.
3)      Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.
4)      Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang
5)      Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.
5.       Penggunaan tempat untuk mahkamah, waktu dan pakaian qadhi.
Pada masa ini persidangan yang dilakukan biasanya di masjid. Atau terkadang pengadilan diadakan disuatu majlis yang luas, yang memiliki syarat kesehatan dan dibangun ditengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk pesidangan memeriksa perkara. Dan para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain.
Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum.
Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.
6.      Kemerosotan nilai peradilan dan kekuasaan hakim
Dalam perkebangan masa abbasiyah selanjutnya, khususnya pada dekade terkhir, keadaan pemerintahan telah sangat rusak dengan merata, sehinngga urusan pengadilan pun tidak luput dari kerusakan, dan kemerosotan. Ketimpangan yang terjadi pada saat itu antara lain seperti: orang-orang yang diangkat sebagai hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.
Jika keadaan pemerintahan melemah, maka lemahlah kekuasaan hakim dan berangsur-angsur pulalah surutnya daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Keadaan seperti itu berangsur surut dan semakin surut, sehingga berakibat pula pada wewenang hakim yang hanya menyelesaikan sengketa dan akhwal syakhsiyah saja.
C.    Penutup
Dalam periode pemerintahan Bani Abbasiyah, bidang peradilan mendapat perhatian yang sangat besar, hal tersebut dapat dilihat dengan berkembangnya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan, diantaranya adalah pengangkatan Qadhil qudhah, terdapatnya wilayatul madhalim, wilayatul hisbat, dan penggunaan pakaian dalam persidangan.
Pengangkatan hakim yang pada mulanya hanya satu orang pada tiap satu daerah dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun seiring dengan berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka hkim pun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
Akibat perhatiannya yang begitu besar tehadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintah Abbasiyah sering mengintervensi keputusan-keputsan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang mempunyai kompetensi ini, menolak menjadi hakim.
Adanya sikap toleransi hakim terhadap masyarakat dalam bidang mazhab, sehingga apabila yang berperkara tidak semazhab dengan hakim tersebut, maka dia menyerahkannya kepada hakim lain yang semazhab dengan pihak yang berperkara.

Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

Hitti, Philip K., History of The Arabs; From the Earliest Time to the Present, terjemah: Cecep Lukman dan Didi Slamet, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Lapidus, Ira M.,  A History of Islamic Societies, terjemah: Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadha fi Al-Islam, terjemah: Imron AM., Surabaya: Bina Ilmu, tt.

Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, terjemah: Moh Said, dkk., Palembang: IAIN Raden Fatah, 1977.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Monday, November 29, 2010

Ilmu Tasawuf : Tasawuf dan Kehidupan Kerohanian Nabi Muhammad


-->
TASAWUF DAN KEHIDUPAN KEROHANIAN
 NABI MUHAMMAD SAW

OLEH:
Tu'nas Fuaidah


Pendahuluan

Selama ini banyak sekali anggapan yang mengatakan bahwa ilmu tasawuf itu tidak berasal dari Islam, padahal ilmu tasawuf adalah pusaka keagamaan dalam Islam.
Dalam pada itu, kita sadar bahwa manusia itu mempunyai naluri ber-Tuhan, tetapi naluri itu akan segera hilang apabila tidak selalu dipupuk dan dipelihara, terlebih-lebih akhir-akhir ini dunia telah dilanda dekadensi moral terutama generasi muda. Mereka lalai dalam melakukan syari’at Islam.
Terlepas dari hal itu maka tasawuf sangat perlu dipelajari, karena hal itu dapat dilihat dari konteks Jibril dengan Nabi yang menyimpulkan atas tiga segi ajaran pokok, yakni Iman, Islam dan Ihsan. Yang dimana untuk mengetahui keimanan maka dipelajari ilmu ushuluddin, untuk mengetahui Islam maka dipelajari ilmu fiqih, sedangkan untuk mengetahui ihsan adalah dengan tasawuf. Karena tasawuf juga merupakan pemupuk iman, penyubur amal shaleh,. Pengontrol jiwa untuk mengingat dan bertakwa kepada Allah.

Pembahasan
  1. Pengertian Tasawuf
Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata atau istilah yang dihubung-hubungkan para ahli untuk menjelaskan kata tasawuf. Harun Nasution, misalnya menyebutkan lima istilah yang berkenaan dengan tasawuf, yaitu:
1.      al-Shuffah (ahl al-shuffah)
Kata ahl al-shuffah (orang yang ikut pindah dengan Nabi dari Mekkah ke Madinah) misalnya menggambarkan keadaan orang yang rela mencurahkan jiwa raganya, harta benda dan lain sebagainya hanya untuk Allah. Mereka ini rela meninggalkan kampung halamannya, rumah, kekayaan dan harta benda lainnya di Makkah untuk hijrah bersama Nabi ke Madinah.
2.      saf (barisan)
Kata saf juga menggambarkan orang yang selalu berada dibarisan depan dalam beribadah kepada Allah dan melakukan amal kebajikan.
3.      Sufi (suci)
Kata sufi menggambarkan orang yang selalu memelihara dirinya dari berbuat dosa dan maksiat.
4.      Suf (kain wol)
Kata suf menggambarkan orang yang hidup sederhana dan tidak mementingkan dunia.
5.      Shopos (bahasa Yunani: hikmah)
Menggambarkan keadaan jiwa yang senantiasa cenderung kepada kebenaran.
Dari segi linguistik (kebahasaan) ini, segera dapat dipahami bahwa tasawuf adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana, rela berkorban untuk kebaikan dan selalu bersikap bijaksana. Sikap jiwa yang demikian itu pada hakikatnya adalah akhlak yang mulia.
Adapun pengertian tasawuf dari segi istilah atau pendapat para ahli amat bergantung kepada sudut pandang yang digunakannya masing-masing. Selama ini ada tiga sudut pandang yang digunakan para ahli untuk mendefinisikan tasawuf, yaitu:
1.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk terbatas
Jika dilihat dari sudut pandang manusia sebagai makhluk yang terbatas, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya mensucikan diri dengan cara menjauhkan dari pengaruh kehidupan dunia, dan memusatkan perhatian hanya kepada Allah SWT.
2.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang harus berjuang
Selanjutnya jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang harus berjuang, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai upaya memperindah diri dengan akhlak yang bersumber dari ajaran agama dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah SWT.
3.      Sudut pandang manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan
Jika sudut pandang yang digunakan manusia sebagai makhluk yang ber-Tuhan, maka tasawuf dapat didefinisikan sebagai kesadaran fitrah (ke-Tuhanan) yang dapat mengarahkan jiwa agar tertuju pada kegiatan-kegiatan yang dapat menghubungkan manusia dengan Tuhan.
Jika definisi tasawuf tersebut diatas satu dan lainnya dihubungkan, maka segera tampak bahwa tasawuf pada intinya adalah upaya melatih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia, sehingga tercermin akhlak yang mulia dan dekat dengan Allah SWT. Dengan kata lain tasawuf adalah bidang kegiatan yang berhubungan dengan pembinaan mental ruhaniah agar selalu dekat dengan Tuhan.

  1. Sumber Ajaran Tasawuf
Banyak pendapat yang mengatakan bahwa tasawuf berasal dari luar Islam yang masuk kedalam Islam. Sebagian penulis misalnya ada yang berpendapat bahwa tasawuf dalam Islam banyak dipengaruhi oleh kristen diantara buktinya, Gold Zihen mengatakan bahwa sikap fakir dalam Islam adalah merupakan cabang dari agama nasrani, selanjutnya Nol Dicker mengatakan bahwa pakaian wol yang kasar yang telah digunakan para sufi sebagai lambang kesederhanaan hidup adalah merupakan pakaian yang biasa dipakai oleh pendeta.
Pendapat yang lain mengatakan bahwa tasawuf timbul karena pengaruh ajaran Hindu dan Budha, yakni antara tasawuf dan sistem kepercayaan ajaran Hindu Budha dapat dilihat dari adanya hubungan seperti sikap fakir. Al Birawi mencatat bahwa ada persamaan antara cara ibadah dan mujahadah tasawuf dengan Hindu, kemudian pula paham reikarnasi (perpindahan roh dari satu badan kebadan yang lain). Cara pelepasan dari dunia versi Hindu atau Budha dengan persatuan diri dengan jalan mengingat Allah.
Terlepas dan ada atau tidaknya pengaruh dari luar ajaran Islam yang jelas dalam Islam sendiri banyak ayat al-Qur’an dan hadits yang membawa kepada timbulnya tasawuf dan mendekatkan diri kepada Allah, ajaran yang mengatakan bahwa Tuhan dekat dengan manusia, seperti dapat di lihat dalam surat al-Baqarah ayat :186.
Secara umum ajaran Islam mengatur kehidupan yang bersifat lahiriah atau jasadiyah, dan kehidupan yang bersifat bathiniah. Pada unsur kehidupan yang bersifat bathiniah itulah kemudian lahir tasawuf. Unsur kehidupan tasawuf ini mendapat perhatian yang cukup besar dari sember ajaran Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah serta praktek kehidupan Nabi dan para sahabatnya. Al-Qur’an antara lain berbicara tentang kemungkinan manusia dengan Tuhan dapat saling mencintai (mahabbah)(al-Maidah: 54); perintah agar manusia senantiasa bertaubah, membersihkan diri memohon ampunan kepada Allah (at-Tahrim:8), petunjuk bahwa manusia akan senantiasa bertemu dengan Tuhan dimanapun mereka berada. Sebagaimana dalam al-Baqarah: 115, yang berbunyi:
ولله المشرق والمغرب فأينما تولوا فثم وجه الله ط إن الله واسع عليم
Dan kepunyaan Allah lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap disitulah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha luas (rahmat-Nya lagi Maha Mengetahui).
 Tuhan dapat memberikan cahaya kepada orang yang dikehendakinya (an-Nur: 35), selanjutnya al-Qur’an mengingatkan menusia agar dalam hidupnya tidak diperbudak oleh kehidupan duniawi dan kemewahan harta benda yang menggiurkan sebagaimana difirmankan Allah dalam surat al-Fatir ayat 5:
يأ يهاالناس إن وعد الله حق ج فلا تغرنكم الحيوة الدنيا ط ولا يغرنكم بالغرور
“hai manusia, sesungguhnya janji Allah adalah benar, mak sekali-kali janganlah kehidupan dunia memperdayakan kamu dan sekali-kali janganlah syaitan yang pandai menipu.”
Dalam pemahaman kalangan sufi, ayat diatas menjadi salah satu dasar untuk menjauhi kehidupan dunia yang penuh dengan tipuan.
Sejalan dengan apa yang dibicarakan al-Qur’an di atas, al-Sunnahpun banyak berbicara tentang kehidupan rohaniah. Berikut ini terdapat beberapa teks hadits yang dapat dipahami dengan pendekatan tasawuf.
كنت كنزا مخفيا فأحبيت ان اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi maka aku menjadikan makhluk agar mereka mengenal-Ku.”
hadits berikutnya menyatakan:
“senantiasalah seorang hamba itu mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnat sehingga Aku mencintainya. Maka apabila mencintainya maka jadilah Aku pendengarannya yang dia pakai untuk melihat dan lidahnya yang dia pakai untuk berbicara dan tangannya yang dia pakai untuk mengepal dan kakinya yang di a pakai untuk berusaha; maka dengan-Ku lah dia mendengar, melihat, berbicara, berfikir, meninju dan berjalan.”
            Hadits tersebut memberi petunjuk bahwa antara manusia dan Tuhan bisa bersatu. Diri manusia bisa lebur dalam diri Tuhan, yang selanjutnya dikenal dengan istilah al-Fana’, yaitu fana-nya makhluk sebagai yang mencintai kepada diri Tuhan sebagai yang dicintai.
            Selanjutnya di dalam kehidupan Nabi Muhammad juga terdapat petunjuk yang menggambarkan sebagai seorang sufi. Dan dikalangan sahabatpun adapula orang yang mengikuti praktek bertasawuf sebagaimana yang diamalkan oleh Nabi Muhammad SAW.

  1. Tujuan Tasawuf
Sebenarnya tujuan tasawuf adalah untuk berada dekat atau sedekat mungkin dengan Allah SWT dengan jalan mensucikan jiwanya yaitu dengan jalan melepaskan jiwanya dari jasadnya yang hanya menyadarkan pada kehidupan kebendaan, disamping itu juga melepaskan dari noda-noda dan sifat-sifat tercela.

  1. Tahannus Nabi dan Kehidupan Kerohanian Para Sahabatnya
1.      Tahannus Nabi
Di dalam kehidupan Nabi Muhammad SAW juga terdapat petunjuk yang menggambarkannya sebagai seorang sufi.
Sebelum Nabi diangkat sebagai utusan Allah (Rasulullah), bertahun-tahun beliau telah melakukan pengasingan diri ke gua Hiro’ dan memutuskan hubungannya sementara waktu dengan masyarakat sekitarnya, dia menjauhi pola hidup kebendaan seperti dalam praktek perdagangan yang menggunakan segala cara yang menghalalkan, untuk mencari kebersihan rohani menjelang datangnya wahyu.
Dalam tahannusnya di gua Hiro’ yang beliau kerjakan hanyalah senantiasa bertafakkur, berdzikir, beribadah kepada Allah dan hidup sederhana semata-mata hanya mengingat kepada Allah dengan ikhlas.
Selama bertahannus selama beberapa tahun akhirnya malaikat Jibril datang menyuruh membaca tetapi beliau belum bisa membaca, kemudian Jibril memeluknya hingga mengeluarkan keringat hingga pingsan dan akhirnya diajarkanlah kalimat tersebut. Saat ini dinamai dengan “Yaumul Furqan” artinya hari pemisahan. Maksudnya yaitu hari pemisahan antara kegelapan jahiliah dengan cahaya keIslaman. Kehidupan Muhammad dan riwayat perjuangannya selama 23 tahun adalah sumber hayat yang amat kaya bagi seluruh pengikutnya.
2.      Kehidupan Kerohanian Sahabat-sahabat Nabi
Kehidupan para sahabat Nabi yang utama itupun sebenarnya mengikuti contoh-contoh yang ditinggalkan Nabi. Hidup mereka sangat sederhana, wara’, tawadhu’ dan zuhud. Itu semua menunjukkan bahwasanya perhatian mereka semata-mata ditujukan kepada Allah SWT. Banyak sahabat-sahabat yang mengikuti jejak kehidupan Nabi, diantaranya :
a.       Abu Bakar
Abu Bakar hidup sangatlah sederhana ia hanya hidup dengan sehelai kain. Menurut pandangan hidup beliau adalah sifat dermawan itu sebagai buah dari taqwa,martabat adalah buah dari tawadhu’ dan kekayaan adalah buah dari keyakinan, beliau juga adalah orang yang sangat dermawan beliau menyumbangkan seluruh hartanya untuk kepentingan agama.
b.      Umar bin Khattabpun mempunyai jiwa bersih dan kesucian rohani yang begitu tinggi sehingga pangkat khalifah dengan dengan kekuasaan yang paling tinggi tidak mengurangi nilai kehidupan rohaninya. Yang menjadi dasar pandangan hidup beliau ialah sabar dan ridho, beliau mengatakan bahwa seluruh kebajikan dalam hidup yang jadi pokoknya adalah ridho, kalau engkau sanggup hendaklah engkau ridho dan kalau engkau tidak sanggup hendaklah engkau sabar. Beliaupun termasuk orang yang tinggi kasih sayang terhadap sesama manusia.
c.       Usman bin Affan
Usman bin Affan khalifah yang ketiga ini meskipun telah diberikan oleh Allah kelapangan rizqi, tetapi beliau masih ingin melaksanakan kerohanian dalam kesehariannya. Beliau adalah seseorang yang tidak pernah melepaskan al-Qur’an dari tangannya, ketika telah lepas dari menjalankan pemerintahan, beliau langsung menelaah al-Qur’an, kadang-kadang sampai tengah malam. Dan beliau terus menerus melakukan hal tersebut sehingga meninggalnyapun dibunuh oleh pemberontak ketika membaca al-Qur’an. Harta kekayaannya pun selalu dijadikan sarana untuk menolong orang-orang muslim.
d.      Ali bin Abi Thalib
Ali bin Abi Thalib sangat subur dalam hidup kerohanian pada dirinya. Pekerjaan dan cita-cita yang besar menyebabkan dia tidak perduli bahwa pakaian yang dipakainya robek-robek. Beliau mengatakan bahwa ia senang melakukan hal itu sehingga mereka mengerti bahwa hidup sederhana merupakan sikap yang mulia.

BAB III
Kesimpulan


Dari segi bahasa terdapat sejumlah kata yang menjelaskan tentang kata tasawuf, tapi dari beberapa pengertian di atas dapat di ambil kesimpulan bahwa tasawuf menurut bahasa adalah sikap mental yang selalu memelihara kesucian diri, beribadah, hidup sederhana dan rela berkorban untuk kebaikan.
Demikian juga menurut istilah sehingga tasawuf dapat diartikan upaya meltih jiwa dengan berbagai kegiatan yang dapat membebaskan dirinya dari pengaruh kehidupan dunia.
Diantara sumber-sumber ajaran tasawuf adalah bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits.
Tujuan tasawuf yaitu untuk berada sedekat mungkin dengan Allah dengan jalan mensucikan jiwa.
Nabi adalah seorang yang hidupnya selalu bertafakkur dan berdzikir kepada Allah. Dan kehidupan rohani para sahabat Nabi sangatlah mulia, mereka adalah orang yang zuhud, sabar dan selalu memberikan apa yang mereka miliki untuk kepentingan agama Allah.
Beberapa sahabat Nabi yang mengikuti jejak beliau diantaranya adalah Abu Bakar, Umar bin Khattab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib.

Daftar Pustaka

Hamka. 1995. Tasawuf dan Perkembangannya, Jakarta: Pustaka Panji Mas

Nata, Abudin. 2002. Akhlak Tasawuf, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada

Nasution, Harun. 1983. Falsafah dan Mistisisme, Jakarta: Bulan Bintang

Rosihon Anwar dan Mukhtar Sholihin. 2004. Ilmu Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia

Zahri, Mustafa. 1995. Kunci memahami Ilmu Tasawuf , Surabaya: PT. Bina Ilmu


Tafsir Tarbawi


-->
TAFSIR TARBAWI
OLEH : TU’NAS FUAIDAH

1. Al-Alaq: 1-5
اقرء بسم ربك الذى خلق (1) خلق الانسان من علق (2) اقرء وربك الاكرم (3) الذى علم بالقلم (4) علم الانسان مالم يعلم (5)

Terjemah

    1. Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan.
    2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.
    3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling Pemurah.
    4. Yang mengajar manusia dengan perantara qalam.
    5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.

Tafsir

Bacalah dengan menyebut nama Tuhanmu yang menciptakan
Dalam ayat ini dijelaskan bahwa Tuhan yang mencipta dan mengadakan alam ini adalah kuasa menjadikan kamu pandai membaca, walaupun kamu tidak belajar lebih dahulu.
Kemudian Allah menjelaskan cara mencipta manusia dalam firmanNya :
Dia telah mencipta manusia dari segumpal darah.
Dzat yang kuasa menciptakan segumpal darah menjadi manusia hidup dan berpikir yang dapat menguasai seluruh makhluk bumi adalah kuasa pula menjadikan Nabi Muhammad saw bisa membaca sekalipun tidak pernah belajar membaca dan menulis.
Bacalah!
Perintah membaca ini diulang-ulang, karena membaca hanya dapat dicapai oleh seseorang dengan mengulang-ulang dan dibiasakan.
Dan Tuhanmulah paling pemurah. Yang mengajarkan kepada manusia dengan perantara qalam
Tuhan yang Maha pemurah itu juga yang menjadikan qalam sebagai sarana untuk memberikan saling pengertian diantara manusia meski berjauhan, sebagaimana memahamkan mereka dengan perantara lisan.
Qalam adalah benda tak berjiwa dan tidak mempunyai kekuatan untuk memberikan pengertian. Oleh karena itu apakah ada kesulitan bagi tuhan yang membuat benda mati menjadi alat untuk memberi pengertian dan penjelasan dan menjadikan kamu orang yang bisa membaca.
Yang mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.
Oleh karena itu tidak mengherankan sekiranya Tuhan mengajarkan kepadamu membaca dan ilmu-ilmu yang banyak diluar membaca. Ayat ini menunjukkan adanya keutamaan membaca, menulis dan ilmu pengetahuan.

2.      Al-Ghasiyah: 17-21
افلا ينظرون الى الابل كيف خلقت (17) والى السماء كيف رفعت (18) والى الجبال كيف نصبت (19) والى الارض كيف سطحت  (20) فذكر انما انت مذكر (21)
Terjemah
a.  Mengapa mereka tidak memperhatikan unta bagaimana ia diciptakan?
b. Langit bagaimana ia ditinggikan
c. Gunung-gunung bagaimana dia ditegakkan
d. Dan bumi bagaiman dia dihamparkan
e. Maka berilah peringatan ! Karena sungguh kamu hanyalah orang yang memberi peringatan.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa ketika Allah melukiskan ciri-ciri surga, kami-kami yang sesat merasa heran. Maka Allah menurunkan ayat ini sebagai perintah untuk memikirkan keluhuran dan keajaiban ciptaan Allah.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Qatadah).
Munasabah
Sesudah Allah swt menerangkan tentang kedatangan hari qiyamat, bahwa manusia pada hari itu terbagi kepada dua golongan, yakni golongan manusia yang celaka dan yang bahagia. Lalu ditegaskan dengan mengemukakan argumentasi untuk melumpuhkan orang-orang yang mengingkarinya, dengan diarahkan pandangan mereka untuk mengamati jejak kekuasanNya seperti langit yang menaunginya, bumi yang menyangganya, serta unta yang dimanfaatkan untuk apa saja.
Tafsir
Sekiranya orang-orang yang ingkar dan menentang itu memikirkan apa yang dilihatnya pada alam ini, niscaya mereka sadar, bahwa seluruh benda dialam ini, tiada penciptanya, kecuali Allah. Dan alam ini tiada akan terjaga dengan baik kecuali oleh Dzat Maha Pemelihara, yang kuasa. Dan niscaya pula mereka akan menyadari bahwa zat yang kuasa mencipta makhluk, berkuasa juga membangkitkan orang-orang pada hari pembalasan dan mengadakan kehidupan akhirat tanpa diketahui mereka cara mengadakanya. Oleh karena itu adalah tidak layak jika ketidak tahuan  mereka tentang cara-cara pengadaan hari qiyamat itu menjadi alasan untuk mengingkarinya.
Allah hanya menghususkan penyebutan kepada benda-benda tersebut, karena orang yang melihat itu hanya memikirkan benda-benda yang dekat kepadanya. Oleh karena itu Allah memerintahkan untuk merenungkan benda-benda tersebut.



3.      Ar-rahman: 33-34
يامعشر الجن والانس ان استطعتم ان تنفذوا من اقطار السماوات والارض فانفذوا ج لاتنفذون الابسلطان (33) فباي ءالاء ربكما تكذبان (34)
Terjemah
a.      Hai jama’ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (meli
b.      ntasi) penjuru langit dan bumi, maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.
c.       Maka ni’mat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?.
Tafsir
            Pada ayat ini Allah swt. menyebutkan bahwa tidak ada tempat berlari dari pembalasan bagi siapapun atas perbuatanya. Wahai golongan jin dan manusia, jika kamu mampu keluar dari penjuru-penjuru langit dan bumi buat menghindari hukuman Allah dan melarikan diri dari adzab-Nya, maka lakukanlah.
Maksudnya, bahwa kita takkan mampu melakukan itu. Karena, Dia meliputi kamu sehingga kamu takkan kuasa melepaskan diri dari pada-Nya. Kemudian Allah menerangkan sebab ketidak mungkinan orang melarikan diri, karena sesungguhnya melarikan diri hanyalah bisa dilakukan dengan kekuatan dan kekuasaan. Namun, dari mana kita memperoleh kekuasaan dan kekuatan itu. Dan dari siapakah kamu mendapatkannya, padahal kamu diwaktu itu tidak mempunyai daya dan kekuatan.
4.      At-Taubah: 122
وماكان المؤمنون لينفروا كافة قلي فلولا نفر من كل فرقة منهم طائفة ليتفقهوا في الدين ولينذروا قومهم اذارجعوا اليهم لعلهم يحذرون (122)
Terjemah
Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan diantara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.
Tafsir
            Anjuran yang demikian gencar, pahala yang demikian besar bagi yang berjihad serta ancaman yang sebelumnya ditujukan kepada yang enggan, menjadikan kaum beriman berduyun-duyun dan dengan penuh semangat maju kemedan juang. Ini tidak pada tempatnya, karena ada arena perjuangan lain yang harus dipikul.
            Terbaca diatas bahwa yang dimaksud dengan orang yang memperdalam pengetahuan demikian juga yang memberi peringatan adalah mereka yang tinggal bersama Rasul saw. dan tidak mendapat tugas sebagai anggota pasukan yang keluar melaksanakan tugas yang dibebankan Rasul saw.
            Ayat ini menuntun kaum muslimin untuk untuk membagi tugas dengan menegaskan bahwa tidak sepatutnya bagi orang-orang mukmin yang selama ini dianjurkan agar bergegas menuju medan perang pergi semua kemedan perang sehingga tidak tersisa lagi yang melaksanakan tugas-tugas yang lain. Jika tidak ada panggilan yang bersifat mobilisasi umum maka mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan beberapa dari golongan itu untuk bersungguh-sungguh memperdalam pengetahuan tentang agama sehingga mereka dapat memperoleh manfaat ntuk diri mereka dan untuk orang lain dan juga untuk memberi peringatan kepada kaum mereka yang menjadi pesukan yang ditugaskan Rasul saw. itu apabila nanti setelah selesainya tugas.
            Ayat ini menggaris bawahi terlebih dahulu motivasi bertafaqquh memperdalam pengetahuan bagi mereka yang dianjurkan keluar, sedang motivasi utama mereka yang berperang bukanlah tafaqquh. Memang harus diakui, bahwa yang bermaksud memperdalam pengetahuan agama harus memahami arena, serta harus memperhatikan kenyataan yang ada, tetapi itu tidak berarti tidak dapat dilakukan oleh mereka yang tidak terlibat dalam perang. Bahkan tidak keliru jika dikatakan bahwa yang tidak terlibat dalam perang itulah yang lebih mampu menarik pelajaran, mengembangkan ilmu dari pada mereka yang terlibat langsung dalam perang.

5.      Al-Fathir: 27-28
الم تر ان الله انزل من السماء ماء فاخرجنا به ثمرات مختلفا الوانها ومن الجبال جدد بيض وحمر مختلف الوانها وغرابيب سود (27)
ومن الناس والدواب والانعام مختلف الوانه كذالك انما يخشى الله من عباده العلماء ان الله عزيز غفور (28)
Terjemah
a.      Tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan dari langit air lalu Kami mengeluarkan dengannya buah-buahan yang beraneka macam warnanya. Dan diantara gunung-gunung ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang pekat hitam.
b.      Dan diantara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak, bermacam-macam warnanya seperti itu (pula). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama’. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun.
Tafsir
Ayat ini melanjutkan uraian tentang bukti-bukti kuasa Allah swt. Ayat ini menggaris bawahi juga kesatuan sumber materi namun menghasilkan aneka perbedaan. Sperma yang menjadi bahan penciptaan dan cikal bakal kejadian manusia dan binatang, pada hakikatnya nampak tidak berbeda dalam kenyataannya satu dengan yang lain. Disinilah letak salah satu rahasia dan misteri gen dan plasma.
Ayat ini pun mengisyaratkan bahwa factor genetislah yang menjadikan tumbuh-tumbuhan, hewan dan manusia tetap memiliki ciri khasnya dan tidak berubah hanya disebabkan oleh habitat dan makanannya.
Oleh karena itu dalam ayat ini ada dua hal yang perlu digaris bawahi. Pertama, yaitu penekanannya pada keanekaragaman serta perbedaan yang terhampar dibumi. Ini mengandung arti bahwa keanekaragaman dalam kehidupan merupakan keniscayaan yang dikehendaki Allah. Trermasuk dalam hal ini perbedaan pendapat dalam bidang ilmiah, bahkan keanekaragaman tanggapan manusia menyangkut kebenaran kitab-kitab suci, penafsiran kandungannya, serta bentuk pengamalannya.
Kedua, mereka yang memiliki pengetahuan tentang fenomena alam dan social, dinamai oleh al-Qur’an ulama’. Diatas terbaca bahwa ayat ini  berbicara tentang fenomena alam dan social. Ini berarti bahwa para ilmuwan social dan alam, dituntun agar mewarnai ilmu mereka dengan nilai spiritual dan agar dalam penerapannya selalu mengindahkan nilai-nilai tersebut.

6.      Al-Mujadilah: 11
ياايها الذين امنوا اذا قيل لكم تفسحوا في المجالس فافسحوا يفسح الله لكم واذا قيل انسزوا فانسزوا يرفع الله الذين امنوا منكم والذين اوتوا العلم درجات ط والله بما تعملون خبير (11)
Tafsir Mufrodat
Tafassahu: lapangkanlah, dan hendaklah sebagian kamu melapangkan kepada sebagian yang lain.
Yafsahi ‘l-Lahu lakum: Allah melapangkan rahmat dan rizqi-Nya untukmu
Unsyuzu: Bangkitlah untuk memberi kelapangan kepada orang-orang yang datang.
Yarfa’I ‘l-Lahu ‘l-ladzina amanu: Allah meninggikan kedudukan mereka pada hari kiamat.
Wa ‘l-ladzina utu ‘l-ilma darajat: Dan Allah meninggikan orang-orang yang berilmu diantara mereka, khususnya derajat-derajat dalam dan kemuliaan dan ketinggian kedudukan.

Terjemah
Hai orang-orang yang beriman, apabila dikatakan kepadamu, “Berlapang-lapanglah dalam majlis”, maka lapangkanlah, niscaya Allah akan memberimu kelapangan untukmu. Dan apabila dikatakan: Berdirilah kamu, maka berdirilah, niscaya Allah akan meninggikan orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.
            Asbabun Nuzul
            Dalam suatu ayat dikemukakan bahwa apabila ada orang yang baru datang kemajlis Rasulullah, para sahabat tidak mau memberikan tempat duduk disisi Rasulullah.maka turunlah ayat ini, sebagai perintah untuk memberikan tempat duduk kepada orang yang baru datang.
(Diriwayatkan oleh Ibnu Jarir yang bersumber dari Qatadah)
Dalam riwayat lain dikemukakan bahwa ayat ini turun pada hari jum’at, disaat pahlawan pahlawan badr datang ketempat pertemuan yang penuh sesak. Orang-orang tidak memberi tempat kepada yang baru datang itu, sehingga terpaksa mereka berdiri. Rasulullah menyuruh kepada pribumi dan tamu-tamu itu disuruh duduk ditempat mereka, orang-orang yang disuruh pindah tempat itu merasa tersinggung perasaannya.
Ayat ini turun sebagai perintah kepada kaum mu’minin untuk mentaati perintah Rasulullah dan memberikan kesempatan duduk kepada sesama muslim.
Munasabah
Sesudah Allah melarang para hamba dari berbisik-bisik mengenai dosa dan pelanggaran yang menyebabkan permusuhan; Allah memerintahkan kepada mereka sebab kecintaan dan kerukunan diantara orang-orang mu’min. dan diantara sebab-sebab kecintaan dan kerukunan itu adalah melapangkan tempat didalam majlis ketika ada orang yang datang, dan bubar apabila dimintai dari kalian untuk bubar.
Apabila kalian melakukan yang demikian itu, maka Allah kan meninggikan tempat-tempat kalian didalam surga-Nya.
Tafsir
Ayat ini mencakup pemberian kelapangan dalam menyampaikan segala macam kebaikan kepada kaum Muslim dan dalam menyenangkannya. Tidak selayaknya orang yang baru datang menyuruh berdiri kepada seseorang, lalu ia duduk ditempat duduknya, dan sesungguhnya apabila diantara kamu orang mu’min memberikan kelapangan bagi saudaranya ketika saudaranya itu datang, atau jika ia disuruh keluar lalu ia keluar, maka hendaklah ia tidak menyangka sama sekali bahwa hal itu mengurangi haknya. Bahwayang demikian merupakan peningkatan dan penambahan bagi kedekatannya disisi Tuhannya. Allah Ta’ala tidak akan menyia-nyiakan yang demikian itu, tetapi Dia akan membalasnya didunia dan di akhirat. Sebab, barang siapa yang tawadhu’ kepada perintah Allah, maka Allah akan mengangkat derajat dan menyiarkan namanya.

7.      Az-Zumar: 9
ام من هو قانت اناء الليل ساجدا وقائما يحذر الاخرة ويرجوا رحمة ربه قل هل يستوى الذين يعلمون و الذين لايعلمون ج انما يتذكر اولوا الالباب (9)
Tafsir Mufrodat:
Al-Qanit: orang-orang yang melakukan ketaatan yang diwajibkan kepadanya
Anna ‘l-lail: saat-saat malam
Yuhdzaru ‘l-Akhirah: takut kepada azab diahirat.
Terjemah
Apakah kamu hai orang-orang musyrik yang lebih beruntung) ataukah orang-orang yang beribadat diwaktu-waktu malam dengan sujud dan berdiri, sedang ia takut kepada azab ahirat dan mengharapkan rahmat Tuhannya. Katakanlah: adakah sama orang-orang yang tidak mengetahui dengan orang yang tidak mengetahui? Sesungguhnya orang yang bertawakkallah yang dapat menerima pelajaran.
Asbabun Nuzul
Dalam suatu riwayat dikemukakan bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah utsman bin Affan yang selalu bangun malam sujud kepada Allah. (diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim yang bersumber dari Ibnu Umar)
Menurut Ibnu Sa’ad al-kalbi dari Abi Shalih yang bersumber dari Ibnu Abbas yang dimaksud dengan ayat ini adalah Ammar bin Yasir.
Menurut riwayat juwaibir yang bersumber dari Ibnu Abbas bahwa yang dimaksud dalam ayat ini ialah Ibnu Mas’ud, Ammar bin Yasir dan Salim Maula Abi Hudzaifah.
Menurut riwayat juwaibir yang bersumber dari ikrimah yang dimaksud dalam ayat ini adalah ammar bin Yasir.
Munasabah
Setelah Allah swt. menerangkan sifat-sifat orang musyrik yang sesat dan menyebutkan celaan terhadap mereka serta tidak tetapnya mereka dalam beribadah; karena mereka kembali kepada Allah pada saat mengalami kesusahan dan kembali kepada patung-patung ketika mengalami kesenangan, maka dilanjutkan dengan menyebutkan hal ikhwal orang-orang mukmin yang tekun melakukan ketaatan, yaitu yang hanya bersandar kepada Tuhan mereka saja dan hanya kembali kepada-Nya saja, serta mengharapkan rahmat-Nya dan takut kepada azab-Nya.
Tafsir
Makna ayat ini menjelaskan tentang adanya dua macam kehidupan. Kehidupan pertama ialah yang gelisah langsung berdoa menyeru Tuhan jika malapetaka datang menimpa dan lupa kepada Allah bila bahaya telah terhindar. Dan kehidupan yang satunya lagi, yaitu kehidupan mu’min yang selalu tidak lepas ingatannya dari Tuhan  baik ketika berduka atau ketika bersuka orang itu tetap tenang dan tidak kehilangan arah, tetap berdiri tegak mengerjakan sembahyang bahkan qiyamu al-lail
            Nabi disuruh lagi oleh Tuhan menanyakan, pertanyaan untuk menguatkan hujjah kebenaran; “katakanlah! Apakah akan sama orang-orang yang berpengetahuan dengan orang-orang yang tidak berpengetahuan?” Pokok dari semua pengetahuan ialah mengenal Allah. Tidak kenal Allah sama degan bodoh. Karena kalaupun ada pengetahuan, padahal Allah yang bersifat maha Tahu, samalah dengan bodoh. Sebab dia tidak tahu akan dibawah kemana diarahkannya ilmu pengetahuan yang telah didapatnya itu.
            Sampai kelangitpun pengetahuan, cuma kecerdasan otak. Belumlah mencukupi kalau tidak ada tuntunan jiwa. Iman adalah tuntunan jiwa yang akan jadi pelita bagi pengetahuan.
Albab kita artikan akal budi. Dia adalah kata banyak dari lubb, yang berarti isi atau inti sari, teras. Dia adalah gabungan diantara kecerdasan akal dan kehalusan budi, dia meninggikan derajat manusia.

8.      An-Naml: 40
قال الذي عنده علم من الكتاب انا ءاتيك به قبل ان يرتد اليك طرفك فلما راه مستقرا عنده قال هذا من فضل ربى ليبلونى ءاشكر ام اكفر ومن شكر فانما يشكر لنفسه ومن كفر فان ربي غني كريم (40)
Terjemah
Berkatalah seseorang yang memiliki ilmu dari al-Kitab: “Aku akan datang kepadamu  dengannya sebelum matamu berkedip.” Maka tatkala dia terletak dihadapannya, diapun berkata: “ini termasuk karunia Tuhanku untuk menguji aku apakah aku bersyukur atau kufur. Dan barang siapa yang bersyukur maka sesungguhnya dia bersyukur untuk dirinya sendiri, dan barang siapa yang kufur maka sesungguhnya Tuhanku maha Kaya lagi Maha Mulia.”
            Tafsir
Ayat ini mengisyaratkan dengan sangat jelas bahwa kemampuan yang bersangkutan itu, lahir dari ilmu yang dimilikinya, dan ilmu itu adalah yang bersumber dari al-Kitab, yakni kitab suci yang diturunkan Allah kepada para nabinya.
Disini terlihat penekanan ayat ini tentang peranan ilmu. Perlu dicatat bahwa ketika al-Qur’an atau as-Sunnah memuji seseorang yang memiliki ilmu, maka itu berarti yang bersangkutan telah mengamalkan ilmunya, karena ilmu ada yang hanya menjadi hiasan lidah, maka ia akan menjadi bencana bagi pemiliknya, dan ada pula yang diamalkan, maka itulah yang menjadi cahaya penerang bagi perjalanan panjang menuju kebahagiaan.
Selanjutnya karna kedua tokoh kisah itu, adalah “anak buah” yang ditundukkan kepada Sulaiman, maka ini menunjukkan keutamaan Nabi Sulaiman as. Yang memperoleh anugerah Allah sehingga keduanya dapat beliau gunakan
           
DAFTAR PUSTAKA

Al-maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi Juz 24, C.V.Toha Putra; Semarang, 1989

Al-maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi Juz 27, C.V.Toha Putra; Semarang, 1989.

Al-maraghi, Ahmad Musthofa, Tafsir al-Maraghi Juz 30, C.V.Toha Putra; Semarang, 1989.

Departemen Agama R.I; Al-Qur’an dan Terjemahannya,al-Hidayah; Surabaya,1971.

Shaleh, K.H. Qomaruddin, Asbabun Nuzul, C.V.Diponegoro; Bandung, 1990.

Sihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah  Jilid 5, Lentera Merah; Jakarta, 2002.
.
Sihab, M. Quraisy, Tafsir al-Misbah  Jilid 10, Lentera Merah; Jakarta, 2002.

Prof. Hamka, Tafsir al-Azhar juz 24, Pustaka Panji Mas; Jakarta, 1982.