Friday, December 17, 2010

Perkembangan Hukum dan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah


PERKEMBANGAN HUKUM DAN PERADILAN
 PADA MASA DINASTI ABBASIYAH

Oleh : Tu’nas Fuaidah


A.    Pendahuluan
Peradilan (Al-Qadha) adalah merupakan suatu lembaga yang telah dikenal sejak masa silam sampai dengan masa sekarang ini. Karena didorong oleh kebutuhan dan kemakmuran hidup manusia, maka peradilan merupakan sesuatu yang tak dapat ditawar-tawar lagi keberadaannya. Sebab, lembaga peradilan adalah merupakan salah satu prasyarat tegaknya pemerintahan dalam rangka menyelesaikan sengketa yang terjadi di antara para warga negara. Tidak mungkin pemerintahan di dunia ini, apapun bentuknya, yang akan berdiri tanpa menegakkan peradilan.
Peradilan adalah merupakan tugas suci yang diakui oleh seluruh bangsa, baik mereka yang tergolong bangsa-bangsa yang masih terbelakang maupun bangsa-bangsa yang tergolong sudah maju. Di dalam peradilan itu terdapat unsur untuk memerintah dalam hal kebaikan dan mencegah bahaya kedhaliman, menyampaikan hak kepada yang berhak menerimanya dan menyelamatkan mereka dari bahaya kesewenang-wenangan, serta mewujudkan perbaikan umum. Dengan peradilanlah dilindungi jiwa, harta dan kehormatan. Apabila sebuah bangsa atau negara tidak mempunyai peradilan, maka bangsa atau negara itu termasuk dalam kategori bangsa yang kacau balau sebab hukum tidak berjalan sebagaimana mestinya. Betapapun baiknya sebuah peraturan perundang-undangan pada sebuah negara, apabila lembaga peradilannya tidak ada, maka peraturan perundang-undangan yang sangat baik itu tidak akan berarti apa-apa, sebab tidak ada yang menjalankan dan mengawasi pelaksanaannya.[1]
Oleh karena itulah maka sejarah peradaban dunia yang pernah kita kenal, memperlihatkan kepada kita tentang peraturan perundang-undangan dan lembaga peradilannya seperti undang-undang Pemerintahan Arab sebelum datangnya Islam, Pemerintahan Islam sendiri dan Pemerintahan modern sekarang ini. Kesemua pemerintahan itu mempunyai lembaga peradilan masing-masing sesuai dengan tingkatan pemikiran dan dinamika ummat manusia pada masa itu.
Dalam makalah ini penulis akan memfokuskan perhatian pada lembaga peradilan pada masa Dinasti Abbasiyah, sebuah dinasti yang dianggap sebagai zaman keemasan bagi ummat Islam. Dinasti ini didirikan oleh Abu al Abbas al Shaffah pada tahun 132H/750M, dan sekaligus sebagai khalifah pertama. Sebuah periode yang dapat dikatakan panjang dalam sebuah rentang kekuasaan karena berlangsung dalam waktu kurang lebih lima abad dari tahun 132-656 H (750-1258 M).
B.     Hukum dan Peradilan Pada Masa Dinasti Abbasiyah
Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan Ummayah. Sebagaimana Ummayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru kawasan, Abbasiyah juga memperluas kekuasaannya dan sekaligus membentuk pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintahan daerah yang didirikan itu antara lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukkan.
Para pemegang kekuasaan pemerintahan daerah itu disebut Amir. Pada awalnya, sistem pemerintahan ini bersifat sentralistik. Semua kepala daerah bertanggung jawab kepada khalifah yang di wakili oleh wazir, pada awalnya kedua pemegang kekuasaan ini bertugas melakukan segala bidang yang berkaitan dengan pemerintahan daerah.  Namun, dalam perkembangan selanjutnya pada setiap bidang ditunjuk pejabat yang menanganinya. Dan Penunjukan ini dilakukan oleh khalifah. Salah satu dari pejabat daerah yang diangkat oleh khalifah adalah pejabat qadli atau hakim. Para Qadli tersebut dipilih diantara para fuqaha’ yang berpengaruh, dan mereka menerapkan hukum Islam bagi permasalahan sipil warga muslim dan diserahi tugas untuk menerima, memeriksa dan mengadili setiap perkara yang diajukan umat islam kepada badan peradilan tersebut. 
Terdapat beberapa hal yang tumbuh dalam perkembangan peradilan di periode Abbasiyah, antara lain:
1.      Munculnya mazhab-mazhab
Setelah Kota Bagdad dijadikan sebagai ibukota kerajaan Abbasiyah maka berkembanglah tradisi keilmuan Islam yang sangat pesat dan para ulama berkumpul di kota ini dari segala penjuru untuk mencari dan mengembangkan ilmu pengetahuan, sehingga jadilah kota Bagdad sebagai pusat pengembangan ilmu pengetahuan sampai Bani Abbasiyah mengalami kemunduran.
Setelah dilakukan pengumpulan Hadis Nabi Muhammad SAW pada masa Umar bin Abdul Aziz dari Khalifah Bani Umayyah, maka pada masa Al-Manshur dari Khalifah Bani Abbasiyah merintahkan para ulama untuk menyusun kitab tafsir dan hadis. Kemudian lahirlah mazhab-mazhab dalam bidang fiqh pada pertengahan abad ketujuh masehi yaitu Abu Hanifah (w. 767 M) yang dikenal dengan tokoh Ahlul Ra’yi di Iraq dan mazhab ini telah melahirkan al-Auza’i (w.774 M) dan al-Zahiri (w.883 M). Kemudian Imam Malik bin Anas (w.795 M)  sebagai ulama mazhab Madinah dari kalangan muhadditsin dan fuqoha’ dengan karya monumentalnya al-Mutawattho’.  Kemudian Imam Muhammad bin Idris Al-Syafi’i (w.820 M) yang muncul sebagai jalan tengah antara mazhab Irak yang liberal dan Mazhab Madinah yang konservatif dan mendominasi daerah Mesir. Selanjutnya lahir pula Ahmad bin Hanbal (w.855 M) yang ahli dalam bidang fiqh dan hadis.
Para ulama-ulama tersebut di atas juga memberikan perhatian yang sangat besar dalam soal peradilan dan permasalahan-permasalahannya dengan penjelasan yang lengkap dan nyata. Para ulama itu merumuskan macam-macamnya, pembagiannya, rukun-rukunnya, dan syarat-syaratnya. Syarat-syarat tersebut mencakup syarat-syarat menjadi Qadhi, adab-adabnya, hubungan Qadhi dengan pihak-pihak yang berperkara dan lain sebagainya. Selain masalah peradilan, para ulama tersebut juga menjelaskan tentang aturan hukum yang mengatur seorang muslim dalam berbagai aspek kehidupan keagamaan, politik dan sosialnya.
Mengingat bahwa mazhab-mazhab sudah berkembang sangat pesat, kemudian para hakim tidak lagi memiliki ruh ijtihad sementara telah berkembang mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali, maka para hakim diperintahkan memutuskan perkara sesuai dengan mazhab-mazhab yang dianut para penguasa, atau oleh masyarakat setempat. Di Iraq umpanya, para hakim memutuskan perkara dengan mazhab Abu Hanifah, di Syam dan Magribi para hakim memutus perkara dengan mazhab Maliki, dan di Mesir para hakim memutus perkara dengan Mazhab Syafi’i. Dan apabila yang berperkara tidak menganut mazhab sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim menyerahkan putusan atau pemeriksaan perkara kepada hakim yang semazhab dengan yang berperkara itu.
Secara umum mazhab yang empatlah yang menjadi sumber putusan hakim dari mulai Dinasti Abbasiyah sampai dengan sekarang ini. Dan oleh karena itu pulalah maka masa Abbasiyah ini dikenal dalam sejarah sebagai masa Imam-Imam Mazhab dan pada masa ini pulalah disusun ilmu Ushul Fiqh untuk menjadi pedoman bagi hakim dalam menggali hukum dari al-Quran dan al-Sunnah.  Perlu menjadi catatan bahwa para hakim pada masa ini dalam memutuskan perkara berdasarkan atas mazhab-mazhab yang dianut oleh hakim dan masyarakat, dan apabila ada masyarakat yang berperkara tidak sesuai dengan mazhab hakim, maka hakim tersebut menyerahkannya kepada hakim yang lain yang semazhab dengan yang berperkara.
2.      Menjauhnya fuqaha’ dari jabatan hakim
Ada satu keinginan baik dari pemerintah Bani Abbasiyah yaitu para khalifah-khalifahnya bermaksud supaya semua perbuatan mereka diwarnai dengan celupan agama. Karena itu mereka membimbing hakim supaya berjalan sesuai dengan keinginan mereka, dampak negatifnya adalah para hakim memutuskan perkara dibawah kekuasaan pengaruh pemerintah atau dalam kata lain putusan hakim harus sesuai dengan keinginan pemerintah.
Karena dasar itulah maka para ulama banyak yang menolak menjadi hakim. Sebagai contoh adalah Imam Abu Hanifah menolak jabatan hakim tersebut pada masa Abu Ja’far al-Manshur. Abu Hanifah tidak menyukai khalifah-khalifah Bani Abbasiyah, karena khalifah-khalifah itu sangat sering merusakkan perjanjian dan sering membunuh orang-orang yang telah dilindungi. Dan itu mereka lakukan melalui fatwa hakim, seperti yang telah dikeluarkan oleh Abul Abbas terhadap Ibnu Hubairah, dan seperti tindakan Al-Manshur terhadap Muhammad bin Abdullah dan tindakan Harun Al-Rasyid terhadap Yahya bin Abdullah. Seringkali khalifah Abbasiyah mencampuri putusan hakim.
Banyaknya mazhab-mazhab dalam bidang hukum dan adanya penolakan menjadi hakim oleh para ulama yang berkompeten akibat banyaknya campur tangan khalifah terhadap putusan hakim, menyebabkan terjadinya kekacauan-kekacauan dalalam bidang hukum sebab tidak ada satu pedoman khusus yang dapat dipedomani dalam memutuskan sebuah perkara. Hal ini mendorong Abdullah bin Muqaffa’ (seorang Muslim Iran yang pernah menjadi sekretaris negara, w. 756M ) menulis risalah yang disampaikan kepada Abu Ja’far Al-Manshur, agar beliau menyusun satu peraturan umum yang berlaku untuk seluruh daerah negerinya. Khalifah memenuhi permintaan ini dan memerintahkan Imam Malik bin Anas untuk menyusun satu kitab pedoman dalam penetapan hukum bagi ummat Islam.
3.      Lahirnya istilah qadhil qudha
Istilah qadhil qudha pada masa sekarang ini dapat kita katakan sebagai menteri kehakiman. Qadhil qudhah ini berkedudukan di ibu kota negara. Dan dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah. Tokoh pertama yang mendapat gelar qadhil qudhah  adalah Al-Qadhi Abu Yusuf Ya’qub bin Ibrahim Al-Anshari, Sahabat dekat dan pelanjut mazhab Imam Abu Hanifah dan pengarang kitab Al-Kharaj. Hal ini terjadi pada masa pemerintahan  al-Mahdi dan dua orang putranya al-Hadi dan Harun al-Rasyid.
Qadhil qudhah (Mahkamah agung) di Abbasiyah memiliki peran yang sangat sentral bagi qadhi-qadhi di daerah, hal ini dikarenakan mereka sangat dekat dengan para khalifah dan menjadi pimpinan para qadhi di seluruh negeri.pada masa ini qadhil qudhah juga mempunyai hak untuk mengangkat pejabat-pejabat peradilan yang memiliki kompetensi, baik yang berada di pusat maupun yang berada di daerah. Dan mereka juga diberi wewenang untuk memberhentikan pejabat bawahannya. Selain itu juga mereka mempunyai tugas meneliti tingkah laku qadhi bahkan sampai pada putusan-putusan yang diambil oleh para qadhi dalam mengambil fatwa dan putusan hukum.
4.      Beberapa bidang lain yang termasuk dalam bidang pelaksanaan hukum.
Pada periode abbasiyah, lembaga hukum disebut juga dengan al-nidham al-madhalim, yaitu lembaga yang diberi tugas memberikan penjelasan dan pembinaan dalam hukum, menegakkan ketertiban hukum yang berada dalam wilayah pemerintahan ataukah yang berada dalam lingkungan masyarakat serta memutuskan perkara-perkara hukum.
Lembaga ini terdiri dari tiga macam bagian, antara lain:
a.      Al-Qadha
Badan ini bertugas membuat fatwa-fatwa hukum dan peraturan yang digali langsung dari al-Qur’an, sunnah Rasul, atau ijma’ dan atau berdasarkan ijtihad. Badan ini juga dipimpin oleh qadhi, yang bertugas memberi penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengketa, perselisiham bahkan sampai dengan masalah waqaf. Pada masa ini, di setiap wilayah diangkat beberapa hakim, dan setiap perkara diselesaikan sesuai dengan mazhab yang dianut oleh masyarakat.
b.      Wilayatul Hisbat
Pejabat badan al-hisbat disebut juga dengan al-muhtasib, disini al-muhtasib bertugas mengatur ketertiban umum, mengawasi hukum, menyelesaikan masalah-masalah kriminal yang butuh penanganan segera. Mereka juga bertugas dalam menegakkan amar ma’ruf nahi munkar, mencegah terjadinya pelanggaran hak-hak tetangga, mengawasi ketertiban pasar, dan menghukum orang yang mempermainkan hukum syari’at.
c.       Wilayatul Madhalim
Pejabat badan al-madhalim disebut dengan qadhi al-madhalim atau shahib al-madhalim. Kedudukan badan ini lebih tinggi dari pada al-qadha dan al-hisbat, karena disini qadhi al-madhalim bertugas menyelesaikan perkara yang tidak dapat diputuskan oleh qadhi dan muhtasib, meninjau kembali beberapa putusan yang dibuat oleh kedua hakim tersebut, atau menyelesaikan perkara banding.  Dapat dikatakan pula bahwa lembaga ini memeriksa perkara-perkara yang tidak masuk ke dalam wewenang hakim biasa. Yaitu, memeriksa perkara-perkara penganiayaan yang dilakukan oleh para penguasa dan hakim ataupun anak-anak dari orang yang berkuasa. Sebahagian dari perkara-perkara yang diperiksa dalam lembaga ini adalah perkara-perkara yang diajukan oleh seseorang yang teraniaya.
Badan ini memiliki mahkamat al-madhalim. Sidangnya selalu dihadiri oleh lima unsur sebagai anggota sidang:
1)      Para pembela dan pembantu sebagai juri yang berusaha sekuat tenaga meluruskan penyimpangan-penyimpangan hukum.
2)      Para hakim yang mempertahankan wibawa hukum dan mengembalikan hak kepada  yang berhak.
3)      Para fuqaha’ tempat rujukan qadhi al-madhalim bila menghadapi kesulitan dalam menyelesaikan masalah yang musykil dari hukum syari’at.
4)      Para katib yang mencatat pertanyaan-pertanyaan dalam sidang dan keputusan sidang
5)      Para saksi memberi kesaksian pada masalah yang diperkarakan dan menyaksikan bahwa keputusan yang diambil hakim adalah benar dan adil.
5.       Penggunaan tempat untuk mahkamah, waktu dan pakaian qadhi.
Pada masa ini persidangan yang dilakukan biasanya di masjid. Atau terkadang pengadilan diadakan disuatu majlis yang luas, yang memiliki syarat kesehatan dan dibangun ditengah-tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk pesidangan memeriksa perkara. Dan para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-tempat yang lain.
Bagi para qadhi atau ulama’ memiliki pakaian husus dalam melaksanakan persidangan, hal ini mulai terjadi pada masa khalifah Harun al-Rasyid, dengan maksud untuk membedakan mereka dengan rakyat umum.
Dalam pelaksanaannya para qadhi mempunyai beberapa orang pembantu atau pengawal khusus yang mengatur waktu berkunjung dan waktu pengajuan perkara dan meneliti dakwaan-dakwaan mereka.
6.      Kemerosotan nilai peradilan dan kekuasaan hakim
Dalam perkebangan masa abbasiyah selanjutnya, khususnya pada dekade terkhir, keadaan pemerintahan telah sangat rusak dengan merata, sehinngga urusan pengadilan pun tidak luput dari kerusakan, dan kemerosotan. Ketimpangan yang terjadi pada saat itu antara lain seperti: orang-orang yang diangkat sebagai hakim, diharuskan membayar sejumlah uang kepada pemerintah pada tiap-tiap tahun.
Jika keadaan pemerintahan melemah, maka lemahlah kekuasaan hakim dan berangsur-angsur pulalah surutnya daerah hukum yang menjadi wewenang hakim. Keadaan seperti itu berangsur surut dan semakin surut, sehingga berakibat pula pada wewenang hakim yang hanya menyelesaikan sengketa dan akhwal syakhsiyah saja.
C.    Penutup
Dalam periode pemerintahan Bani Abbasiyah, bidang peradilan mendapat perhatian yang sangat besar, hal tersebut dapat dilihat dengan berkembangnya kreasi-kreasi baru dalam bidang peradilan, diantaranya adalah pengangkatan Qadhil qudhah, terdapatnya wilayatul madhalim, wilayatul hisbat, dan penggunaan pakaian dalam persidangan.
Pengangkatan hakim yang pada mulanya hanya satu orang pada tiap satu daerah dari pengikut mazhab mayoritas di negeri itu, namun seiring dengan berkembangnya wilayah, dinamika masyarakat bertambah, maka hkim pun diangkat beberapa orang dalam setiap wilayah yang terdiri dari berbagai mazhab yang dianut oleh masyarakat setempat.
Akibat perhatiannya yang begitu besar tehadap peradilan dan hakim-hakimnya, pemerintah Abbasiyah sering mengintervensi keputusan-keputsan peradilan, akibatnya banyak para ulama yang mempunyai kompetensi ini, menolak menjadi hakim.
Adanya sikap toleransi hakim terhadap masyarakat dalam bidang mazhab, sehingga apabila yang berperkara tidak semazhab dengan hakim tersebut, maka dia menyerahkannya kepada hakim lain yang semazhab dengan pihak yang berperkara.

Daftar Pustaka
Ash Shiddieqy, Teungku Muhammad Hasbi, Peradilan dan Hukum Acara Islam, Semarang: PT Pustaka Rizki Putra, 1997.

Hitti, Philip K., History of The Arabs; From the Earliest Time to the Present, terjemah: Cecep Lukman dan Didi Slamet, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006.

Iqbal, Muhammad, Fiqh Siyasah: Kontekstualisasi Doktrin Politik Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001.

Lapidus, Ira M.,  A History of Islamic Societies, terjemah: Ghufron A. Mas’adi, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000.

Madkur, Muhammad Salam, Al-Qadha fi Al-Islam, terjemah: Imron AM., Surabaya: Bina Ilmu, tt.

Munir, Samsul, Sejarah Peradaban Islam, Jakarta: AMZAH, 2009.

Pulungan, J. Suyuthi, Fiqh Siyasah: Ajaran Sejarah dan Pemikiran, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.

Schacht, Joseph, An Introduction to Islamic Law, terjemah: Moh Said, dkk., Palembang: IAIN Raden Fatah, 1977.
Thohir, Ajid, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam: Melacak Akar-akar Sejarah, Sosial, Politik dan Budaya Umat Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

3 comments:

Anonymous said...

tengkyu...artikel u bisa bwt tambahan wawasan n referensi

Alleicya_ said...
This comment has been removed by the author.
Alleicya_ said...

iyaaaa.... you r welcome... semoga bisa bermanfaat. hehehe
jika ada wawasan lebih tentang artikel ini, boleh dong kita share bareng disini. makcieee

Post a Comment

trimakasih atas kunjungan dan komentar anda!!!