PEMIKIRAN IBNU KHALDUN
TENTANG PENDIDIKAN
By: Tu'nas Fuaidah
A.
Pendahuluan
Islam adalah agama yang menempatan pendidikan, dalam
posisi yang sangat vital. Bukanlah sesuatu yang kebetulan jika lima ayat
pertama yang diwahyukan Allah kepada Muhammad
dalam surat al-Alaq, dimulai dengan perintah membaca, iqra’.
Disamping, itu pesa-pesan al-Qur’an dalam hubungannya dengan pendidikan pun
dapat dijumpai dalam berbagai ayat dan surat dengan aneka ungkapan pernyataan, pertanyaan
dan kisah. Lebih khusus lagi kata ‘ilm
dan derivasinya digunakan paling dominan dalam al-Qur’an untuk menunjukkan
perhatian Islam yang luar biasa terhadap pendidikan. Menegaskan kenyataan
diatas, pasangan sarjana muslim
kontemporer, Ismail Raji al-Faruqi dan Lois al-Faruq membuat pernyataan bahwa,
“Islam mengidentifikasikan dirinya sendiri dengan ilmu. Bagi Islam, ilmu adalah
syarat dan sekaligus tujuan dari agama ini”.
Dalam relitas sejarah secara epistemologi, perkembangan teori pendidikan Islam, sebagaimana yang diungkap
Tedi Priyatna, cukup unik. Setidaknya ada dua tipe perumusan teori pendidikan
Islam yang berkembang, yaitu: pertama, rumusan yang dihasilkan dari sikap atau
respon umat Islam terhadap masalah-masalah pendidikandengan mengembalikannya
pada sumber normative al-Qur’an dan Hadits; kedua, hasil introdusir dari
teori-toeri pendidikan yang berkembang dan melegitimasikannya melalui sumber
normative tersebut. Dengan demikian untuk saaat ini, harus diakui sejujur
jujurnya bahwa secara materi atau isi,
teori pendidikan Islam masih banyak memperlihatkan teori-teori hasil
reduksi dari sejumlah pemikiran barat atau lainnya, sehingga terkesan bahwa
teori pendidikan Islam hanyalah “nama baru” dari suatu teori yang ada yang
sudah dilegitimasi oleh rujukan-rujukan sumber normative.
Walaupun demikian, ketika kita mengkaji secara serius
sejarah Islam dimasa lalu, maka kita harus berbangga hati
atas sejumlah prestasi yang sudah dihasilkan oleh para tokoh pendidikan Islam.
Kajian tersebut meyakinkan kita akan adanya realitas penyelenggaraan pendidikan
pada masa Islam klasik yang tidak kalah dibanding pendidikan modern saaat ini.
Bagaimana mungkin komunitas peradaban mampu menguasai dunia tanpa tanding, jika
tanpa didukung oleh kualitas yang pendidikan yang memadai, tulisan sederhana
ini akan sedikit mengupas tentang pemikiran orisinil salah satu tokoh
pendidikan Islam, yang dikenal luas di kalangan barat dan timur sebagai tokoh
sejarah dan sosial yaitu Ibnu
Khaldun.
B.
Riwayat Singkat Hidup Ibnu
Khaldun Dan Karya-Karyanya
1.
Riwayat singkat hidup Ibnu Khaldun
Sebuah ciri khas yang melatar belakangi kehidupan Ibnu Khaldun adalah ia berasal
dari keluarga politis, intelektual dan aristokrat. Suatu latar belakang yang jarang dijumpai orang. Sebelum menyeberang
ke Afrika keluarganya adalah
para pemimpin politik di Moorish,
Spanyol selama berabad-abad. Dalam keluarga elit semacam inilah ia dilahirkan
pada bulan Mei 1332 / 732 H di Tunisia. Nama lengkap Ibnu Khaldun yaitu Abdu
al-Rahman ibn Muhamad ibn Muhamad ibn Muhamad ibn al-Hasan ibn Jabir ibn
Muhamad ibn Ibrahim ibn Khalid ibn Utsman ibn Hani ibn Khattab ibn Kuraib ibn
Ma`dikarib ibn al-Harits ibn Wail ibn Hujar atau lebih dikenal dengan sebutan
Abdur Rahman Abu Zayd Muhamad ibnu Khaldun.
Latar
belakang keluarga dan situasi saat ia dilahirkan serta pola perjalanan hidup
beliau nampaknya merupakan faktor yang menentukan dalam perkembangan
pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam
dirinya, sedangkan masa ketika ia hidup yang ditandai oleh jatuh bangunnya
dinasti-dinasti Islam, terutama dinasti Umayyah dan Abbasiyah memberikan
kerangka berfikir dan teori-teori ilmu sosialnya serta filsafatnya.
Pada tahap
awal kehidupannya, ibnu Khaldun memperoleh pendidikan dari keluarganya sendiri,
gurunya yang pertama adalah ayahanya sendiri. Ia belajar
membaca dan sekaligus belajar membaca al-Qur’an dalam usia sekitar tujuh tahun,
kemudian belajar bahasa, filsafat, manthiq, ilmu pasti, ilmu syar’i, hadits, sehingga
pada usia 20 tahun Ibnu Khaldun merupakan ilmuwan yang dikagumi.
Selanjutnya,
Ibnu Khaldun lebih banyak bergumul dalam bidang politik di bandingkan dengan
keilmuan. Namun, sangat menakjubkan ia menjadi pemikir yang pakar dalam bidang
sejarah umat manusia melibihi bidang kepakarannya dalam bidang politik. Karir
tokoh besar ini bermula semenjak ia ditunjuk oleh Ibnu Tafirakin, seorang
perdana menteri dari raja Abi Ishak al-Hafshi yang berkuasa di Tunisia, pada
pertengahan abad VIII H, sebagai sekertaris yang menyalin berbagai dokumen
penting.[1]
Sebagai
politisi dan negarawan profesional, Ibnu Khaldun banyak berpindah dari satu tempat ketempat
lain. Mulai dari Tunis, Andalusia, Granada, kemudian Fez Maroko, akan tetapi
karir politiknya seringkali terganggu sehingga beliau mengalami kejenuhan yang
mendorongnya untuk meninggalkan dunia politik dan menekuni dunia keilmuan. Pada
tahun 784 H. Ibnu Khaldun pergi ke Cairo Mesir, beliau disana dipercaya
mengajar di universitas al-Azhar, mengadakan seminar-seminar berbagai macam
keilmuan. Selanjutnya, Ibnu Khaldun menekuni dunia keilmuan dengan mengajar,
menulis dan berdiskusi. Ibnu Khaldun wafat pada tahun 808 H / 1406 M, di Cairo
sebagai ilmuwan yang meninggalkan pemikiran besar antara lain dalam bidang
pendidikan.[2]
Dari riwayat singkat Ibnu Khaldun tersebut, dapat
diketahui bahwa ada beberapa hal yang menyebabkan Ibnu Khaldun memiliki
kecemerlangan pikiran sebagai seorang ahli sejarah dan penemu ilmu pengetahuan,
yaitu antara lain: (a) dia mendapatkan kecerdasan fitrah yang luar biasa; (b)
mempunyai kemampuan dalam mengadakan pengamatan dan mengaitkan antara sebab
dengan musababnya; (c) mempunyai pengalaman yang luas dalam kehidupan
politiknya yang penuh dengan berbagai goncangan dan revolusi; (d) sering
mengembara antara Barat dan Timur dan atau Eropa dengan Asia, kemudian
menyebrang ke Afrika Utara dengan berbagai kondisi kehidupannya; (e) memiliki
ilmu pengetahuan yang luas, yang disatu sisi diperolehnya dari membaca dan
mempelajari kitab-kitab, dan di sisi
lain dari pengamatannya yang cermat selama mengembara dan bergaul
denganbermacam-macam bangsa dan warga Negara.
2.
Karya-karya Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun
terkenal sebagai ilmuwan besar adalah karena karyanya “Muqaddimah”.
Rasanya memang aneh ia terkenal justru karena muqaddimahnya bukan karena
karyanya yang pokok (al-‘Ibar), namun pengantar al-‘Ibarnyalah yang
telah membuat namanya diagung-agungkan dalam sejarah intelektualisme. Karya
monumentalnya itu telah membuat para sarjana baik di Barat maupun di Timur
begitu mengaguminya.[3]
Sebenarnya Ibnu Khaldun sudah memulai kariernya dalam bidang tulis
menulis semenjak masa mudanya, tatkala ia masih menuntut ilmu pengetahuan, dan
kemudian dilanjutkan ketika ia aktif dalam dunia politik dan pemerintahan.
Adapun hasil karya-karyanya yang terkenal di antaranya adalah:
a.
Untuk buku pertamanya adalah Lubab
al-muhassal, yang telah dia selesaikan di bawah pengawasan guru favoritnya,
al-Abili. Ketika Ibnu Khaldun masih berusia 19 tahun dan masih tinggal
di Tunis.
b.
Sebelum menulis kitab al-I’bar,
ada satu karyanya yaitu Shifa’al-sa’il yang ia tulis selama ia singgah
di fez.
c.
Kitab Muqaddimah, yang
merupakan buku pertama dari kitab al-‘Ibar, yang terdiri dari bagian
muqaddimah (pengantar). Buku pengantar yang panjang inilah yang merupakan inti
dari seluruh persoalan, dan buku tersebut pulalah yang mengangkat nama Ibnu
Khaldun menjadi begitu harum. Adapun tema muqaddimah ini adalah gejala-gejala
sosial dan sejarahnya.
d.
Kitab al-‘Ibar, wa Diwan
al-Mubtada’ wa al-Khabar, fi Ayyam al-‘Arab wa al-‘Ajam wa al-Barbar, wa man
Asharuhum min dzawi as-Sulthani al-‘Akbar. (Kitab Pelajaran dan Arsip
Sejarah Zaman Permulaan dan Zaman Akhir yang mencakup Peristiwa Politik
Mengenai Orang-orang Arab, Non-Arab, dan Barbar, serta Raja-raja Besar yang
Semasa dengan Mereka), yang kemudian terkenal dengan kitab ‘Ibar, yang terdiri
dari tiga buku: Buku pertama, adalah sebagai kitab Muqaddimah, atau jilid
pertama yang berisi tentang: Masyarakat dan ciri-cirinya yang hakiki, yaitu
pemerintahan, kekuasaan, pencaharian, penghidupan, keahlian-keahlian dan ilmu
pengetahuan dengan segala sebab dan alasan-alasannya. Buku kedua terdiri dari
empat jilid, yaitu jilid kedua, ketiga, keempat, dan kelima, yang menguraikan
tentang sejarah bangsa Arab, generasi-generasi mereka serta dinasti-dinasti
mereka. Di samping itu juga mengandung ulasan tentang bangsa-bangsa terkenal
dan negara yang sezaman dengan mereka, seperti bangsa Syiria, Persia, Yahudi
(Israel), Yunani, Romawi, Turki dan Franka (orang-orang Eropa). Kemudian Buku
Ketiga terdiri dari dua jilid yaitu jilid keenam dan ketujuh, yang berisi
tentang sejarah bahasa Barbar dan Zanata yang merupakan bagian dari mereka,
khususnya kerajaan dan negara-negara Maghribi (Afrika Utara).
e.
Kitab al-Ta’rif bi Ibnu Khaldun
wa Rihlatuhu Syarqon wa Ghorban atau disebut al-Ta’rif, dan oleh
orang-orang Barat disebut dengan Autobiografi. Merupakan bagian terakhir dari
kitab al-‘Ibar yang berisi tentang beberapa bab mengenai kehidupan Ibnu
Khaldun. Dia menulis autobiografinya secara sistematis dengan menggunakan
metode ilmiah, karena terpisah dalam bab-bab, tapi saling berhubungan antara
satu dengan yang lain.
C.
Pemikiran Ibnu Khaldun
Tentang Pendidikan
1.
Pandangan Tentang manusia
Pada bab ini akan dibahas pandangan-pandangan Ibnu
Khaldun mengenai pendidikan. Menurut Ibnu Khaldun dalam awal pembahasannya pada
bab VI dari Muqaddimahnya, dia menyatakan bahwa ilmu pendidikan bukanlah suatu
aktivitas yang semat-mata bersifat pemikiran dan perenungan yang jauh dari
aspek-aspek pragmatis di dalam kehidupan, akan tetapi ilmu dan pendidikan
merupakan gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan
perkembangannya dalam tahapan kebudayaan. Menurutnya bahwa ilmu dan pendidikan
tidak lain merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani. karena
alasan itulah, sebelum mendefinisikan tentang ilmu dan pendidikan, alangkah
baiknya jika pembahsan awal dimulai dengan pandangan Ibnu Khaldun tentang
manusia.
Ibnu Khaldun melihat manusia tidak terlalu menekankan
pada segi kepribadiannya. Ia lebih banyak melihat manusia dalam hubungannya dan
interaksinya dengan kelompok-kelompok yang ada di masyarakat. Ibnu Khaldun
memandang bahwa manusia adalah sebagai makhluk yang berbeda dengan berbagai
makhluk lainnya. Manusia, menurut Ibnu Khaldun adalah makhluk berpikir. Oleh
karena itu ia mampu melahirkan ilmu (pengetahuan). dan sifat-sifat semacam ini
tidak dimiliki makhluk lainnya.
Menurut Ibnu Khaldun bahwa secara esensial manusia itu
bodoh, dan menjadi berilmu melalui pencarian ilmu pengetahuan. Alasan yang
dikemukakan bahwa manusia adalah bagian dari jenis binatang, dan Allah SWT
telah membedakannya dengan binatang dengan diberi akal pikiran. Lebih lanjut
Ibnu Khaldûn mengatakan bahwa, kemampuan manusia untuk berpikir baru
diperolehnya setelah sifat kebinatangannya mencapai kesempurnaan di dalam dirinya.
Itu dimulai dari kemampuan membedakan (tamyiz). Sebelum manusia memiliki
tamyiz, dia sama sekali tidak memiliki pengetahuan. Sebelum pada tahap ini
manusia sama sekali persis seperti binatang. Kemudian Allah memberikan anugerah
berupa pendengaran, penglihatan dan akal. Pada waktu itu manusia adalah materi
sepenuhnya karena itu dia tidak mempunyai ilmu pengetahuan. Dia mencapai
kesempurnaan bentuknya melalui ilmu pengetahuan yang dicari melalui organ
tubuhnya sendiri. Setelah manusia mencapai eksistensinya, dia siap menerima apa
yang dibawa para Nabi dan mengamalkannya demi akhiratnya. Maka dia selalu
berfikir tentang semuanya.
Dari pikiran ini tercipta berbagai ilmu pengetahuan
dan keahlian-keahlian. Kemudian manusia ingin mencapai apa yang menjadi
tuntutan wataknya; yaitu ingin mengetahui segala sesuatu, lalu dia mencari
orang yang lebih dulu memiliki ilmu atau kelebihan. Setelah itu pikiran dan pandangannya
dicurahkan pada hakekat kebenaran satu demi satu serta memperhatikan
peristiwa-peristiwa yang dialaminya yang berguna bagi esensinya. Akhirnya dia
menjadi terlatih sehingga pengajaran terhadap gejala hakekat menjadi suatu
kebiasaan (malakah) baginya. Ketika itu ilmunya menjadi suatu ilmu spesial, dan
jiwa generasi yang sedang tumbuh pun tertarik untuk memperoleh ilmu tersebut.
Merekapun meminta bantuan para ahli ilmu pengetahuan, dan dari sinilah timbul
pengajaran. Inilah yang oleh Ibnu Khaldun dikatakan bahwa ilmu pengetahuan
merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia. Dari sinilah timbul yang
dinamakan dengan proses pendidikan dan pengajaran.
Selanjutnya,
sebagai makhluk sosial, pertumbuhan dan perkembangan individu tersebut
pemanfaatannya tidak hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan juga untuk
kepentingan bersama, kepentingan masyarakat (homo socius). Bahkan
pertanggungjawaban perilaku dirinya, juga tidak hanya tertuju kepada individu
yang bersangkutan, melainkan juga tertuju kepada masyarakat. Dan dalam proses
sosial dalam bentuk interaksi sosial, manusia tidak terlepas dari konteks
sosial yang disebut “lingkungan sosial”. Lingkungan sosial ini besar sekali
pengaruhnya terhadap pembentukan pribadi individu. Sebagaimana Ibnu Khaldun dalam kitab Muqaddimahnya
mengatakan bahwa:
“Manusia adalah makhluk
sosial (al-Insanu madaniyyun bi al-Thab’i). pernyataan ini mengandung
bahwa seorang manusia tidak bisa hidup sendirian dan eksistensinya tidaklah
terlaksana kecuali dengan kehidup-an bersama. Dia tidak akan mampu
menyempurnakan eksistensi dan mengatur kehidupannya dengan sempurna secara
sendirian. Benar-benar sudah menjadi wataknya, apabila manusia butuh bantuan
dalam memenuhi kebutuhannya.”
Manusia memerlukan pendidikan, karena ia dalam keadaan
tidak berdaya, dan ketidakberdayaan itu memerlukan bantuan orang lain. Sebab
secara esensial bahwa pendidikan adalah media untuk menolong dan menjadikan
manusia menjadi manusia.
2.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang Ilmu
Selanjutnya Ibnu Khladun berpendapat bahwa pertumbuhan
pendidikan dan ilmu pengetahuan di pengaruhi oleh peradaban, ia menyebutkan
bahwa hal ini dapat dilihat dari Negara Qairawan dan Cordova yang merupakan dua
pusat kebudayaan Maghribi dan Andalusia. pada masa itu, peradaban disana
berkembang pesat dan terdapat pasar-pasar yang hidup dan lautan yang luas bagi
beracam ilmu pengetahuan dan keahlian.
Dalam Muqaddimah,
Ibnu Khaldun memandang bahwa ilmu dan pendidikan sudah merupakan tabiat di
dalam diri manusia. Ia juga menganggap bahwa ilmu dan pendidikan sebagai suatu
gejala konklusif yang lahir dari terbentuknya masyarakat dan perkembangannya di
dalam tahapan kebudayaan. Selain itu ilmu dan pendidikan merupakan salah satu
industri, sedangkan industri, lahir di dalam masyarakat karena urgensinya yang
begitu penting bagi kehidupan individu, yang merupakan salah satu jalan untuk
mendapatkan rizki.
Ibnu Khaldun juga
berpendapat, bahwa dari balik upayanya untuk mencapai ilmu itu, manusia
bertujuan dapat mengerti tentang berbagai aspek pengetahuan, yang dipandang
sebagai alat yang membantunya untuk bisa hidup dengan baik di dalam masyarakat
maju dan berbudaya.
3.
Pengertian dan Tujuan
Pendidikan Menurut Ibnu Khaldun
Di dalam
kitab Muqaddimahnya Ibnu Khaldun tidak memberikan definisi pendidikan secara
jelas, ia hanya memberikan gambaran-gambaran secara umum, seperti dikatakan
Ibnu Khaldun bahwa: “Barang siapa tidak terdidik oleh orang tuanya, maka akan
terdidik oleh zaman”, maksudnya barangsiapa tidak memperoleh tata krama yang
dibutuhkan sehubungan pergaulan bersama melalui orang tua mereka yang mencakup
guru-guru dan para sesepuh, dan tidak mempelajari hal itu dari mereka, maka ia
akan mempelajarinya dengan bantuan alam, dari peristiwa-peristiwa yang terjadi
sepanjang zaman, zaman akan mengajarkannya.
Dari pendapatnya ini dapat diketahui bahwa pendidikan
menurut Ibnu Khaldun mempunyai pengertian yang cukup luas. Pendidikan bukan
hanya merupakan proses belajar mengajar yang dibatasi oleh empat dinding,
tetapi pendidikan adalah suatu proses, di mana manusia secara sadar menangkap,
menyerap, dan menghayati peristiwa-peristiwa alam sepanjang zaman.
Di dalam
Muqaddimahnya, Ibnu Khaldun tidak merumuskan tujuan pendidikan secara jelas,
akan tetapi dari uraian yang tersirat, secara umum dapat diketahui tujuan yang
seharusnya dicapai di dalam pendidikan adalah sebagai berikut:
a.
Untuk mengembangkan intekektulitas
peserta didik. Ia memandang bahwa aktivitas ini sangat penting bagi terbukanya
pikiran dan kematangan individu. Kemudian, kematangan ini akan mendapatkan
faedah bagi masyarakat. Ibnu Khaldun mengungkapkan bahwa ”Manusia secara
esensial adalah bodoh dan menjadi berilmu melalui pencarian pengetahuan”.
Sebagaimana firman Allah dalam QS. al-Nahl: 78: “Dan Allah mengeluarkan kamu
dari perut ibu mu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia
memberikan kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. Pernyataan Ibnu Khaldun ini didasarkan pada pemikiran
bahwa: “Manusia adalah termasuk jenis binatang dan bisa dibedakan dari jenisnya
karena kemampuannya untuk berpikir”. Dengan demikian, pencarian ilmu
pengetahuan merupakan suatu keniscayaan, karena ilmu pengetahuan dan pengajaran
merupakan hal yang alami di dalam peradaban manusia.
b.
Memperoleh ilmu pengetahuan
sebagai alat untuk membantunya hidup dengan baik di dalam masyarakat maju dan
berbudaya. Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa manusia berbeda
dengan makhluk lainnya karena kemampuannya untuk berpikir. Menurut Ibnu Khaldun menegaskan bahwa:
”Dan dengan akal sebagai alat berpikir itu, manusia mendapat petunjuk untuk
memperoleh penghidupannya dan saling membantu dengan sejenisnya serta mengadakan
kesatuan sosial yang dipersiapkan bagi kerja sama, dengan kemampuan itu pula,
manusia siap menerima segala apa yang dibawa oleh para nabi dan Rasul-Nya dari
Allah Swt., dan mengamalkan serta mengikuti apa yang berguna bagi akhirat”.
Dari sini dapat
diketahui bahwa ada dua aspek penting yang dapat dicapai oleh kemampuan akal,
yaitu aspek sosial dan spiritual. Keduanya dapat dimiliki oleh manusia melalui
proses aktualisasi dari generasi ke generasi. Dengan kata lain, bahwa manusia
tersebut akan mencari orang-orang yang sejak pertama kali sudah memiliki
pengetahuan. Dengan harapan bahwa dia akan memberikan pengetahuan (transfer of knowledge) tersebut kepada dirinya. Dalam hal
ini Ibnu Khaldun mengatakan: ”Lalu ia pun berpulang pada orang yang
telah dahulu memiliki ilmu, atau yang punya kelebihan dalam suatu pengetahuan,
.... yang menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siapa yang mencarinya. Orang itu
kemudian menerimanya dari mereka dan memberikan perhatian penuh guna memperoleh
serta mengetahuinya.”
c.
Memperoleh lapangan pekerjaan yang
digunakan untuk memperoleh rizki. Ibnu Khaldun menyatakan bahwa: “Ketahuilah bahwa menurut wataknya manusia
membutuhkan sesuatu untuk dikamakan, dan untuk melengkapi dirinya dalam semua
keadaan dan tahapan hidupnya sejak masa pertama pertumbuhan hingga masa tuanya.”[4]
Maka untuk mencukupi kebutuhan itu diperlukan usaha-usaha mencari rizki. Inilah yang disebut dengan penghidupan yang dimaksud oleh Ibnu Khaldûn. Sebab pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi-segi spiritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatannya.
Maka untuk mencukupi kebutuhan itu diperlukan usaha-usaha mencari rizki. Inilah yang disebut dengan penghidupan yang dimaksud oleh Ibnu Khaldûn. Sebab pendidikan Islam tidaklah semuanya bersifat agama atau akhlak, atau spiritual semata-mata, tetapi menaruh perhatian pada segi kemanfaatan tujuan-tujuan, kurikulum, dan aktivitasnya. Kesempurnaan manusia tidak akan tercapai kecuali dengan memadukan antara agama dan ilmu pengetahuan atau menaruh perhatian pada segi-segi spiritual, akhlak dan segi-segi kemanfaatannya.
4.
Pandangan Ibnu Khaldun
tentang materi pendidikan.
Adapun
pandangannya mengenai materi pendidikan, karena materi adalah merupakan salah
satu komponen operasional pendidikan, maka dalam hal ini Ibnu Khaldun telah
mengklasifikasikan ilmu pengetahuan yang banyak dipelajari manusia pada waktu
itu menjadi dua macam yaitu:
a. Ilmu-ilmu tradisional
(Naqliyah). Ilmu naqliyah adalah yang bersumber dari al-Qur’an
dan Hadis yang dalam hal ini peran akal hanyalah menghubungkan cabang
permasalahan dengan cabang utama, karena informasi ilmu ini berdasarkan kepada
otoritas syari’at yang diambil dari al-Qur’an dan Hadis. Adapun yang termasuk
ke dalam ilmu-ilmu naqliyah itu antara lain: ilmu tafsir, ilmu qiraat,
ilmu hadits, ilmu ushul fiqh, ilmu fiqh, ilmu kalam, ilmu bahasa Arab, ilmu
tasawuf, dan ilmu ta’bir mimpi.
b.
Ilmu-ilmu filsafat atau rasional (Aqliyah).
Ilmu ini bersifat alami bagi manusia, yang diperolehnya melalui kemampuannya
untuk berfikir. Ilmu ini dimiliki semua anggota masyarakat di dunia, dan sudah
ada sejak mula kehidupan peradaban umat manusia di dunia. Menurut Ibnu Khaldun
ilmu-ilmu filsafat (aqliyah) ini dibagi menjadi empat macam ilmu yaitu:
a. Ilmu logika, b. Ilmu fisika, c. Ilmu metafisika dan d. Ilmu matematika.
Walaupun Ibnu Khaldun banyak membicarakan tentang ilmu geografi, sejarah dan
sosiologi, namun ia tidak memasukkan ilmu-ilmu tersebut ke dalam klasifikasi
ilmunya.
Setelah mengadakan penelitian, maka Ibnu Khaldun membagi ilmu
berdasarkan kepentingannya bagi anak didik menjadi empat macam, yang
masing-masing bagian diletakkan berdasarkan kegunaan dan prioritas
mempelajarinya. Empat macam pembagian itu adalah:
1)
Ilmu agama (syari’at), yang
terdiri dari tafsir, hadits, fiqh dan ilmu kalam.
2)
Ilmu ‘aqliyah, yang terdiri dari
ilmu kalam, (fisika), dan ilmu Ketuhanan (metafisika).
3)
Ilmu alat yang membantu
mempelajari ilmu agama (syari’at), yang terdiri dari ilmu bahasa Arab,
ilmu hitung dan ilmu-ilmu lain yang membantu mempelajari agama.
4)
Ilmu alat yang membantu mempelajari
ilmu filsafat, yaitu logika.
Menurut Ibnu Khaldun, kedua kelompok ilmu yang pertama itu
adalah merupakan ilmu pengetahuan yang dipelajari karena faidah dari ilmu itu
sendiri. Sedangkan kedua ilmu pengetahuan yang terakhir (ilmu alat) adalah
merupakan alat untuk mempelajari ilmu pengetahuan golongan pertama.
Demikian pandangan Ibnu Khaldun tentang materi ilmu
pengetahuan yang menunjukkan keseimbangan antara ilmu syari’at (agama) dan ilmu
‘Aqliyah (filsafat). Meskipun dia meletakkan ilmu agama pada tempat yang
pertama, hal itu ditinjau dari segi kegunaannya bagi anak didik, karena
membantunya untuk hidup dengan seimbang namun dia juga meletakkan ilmu aqliyah
(filsafat) di tempat yang mulia sejajar dengan ilmu agama.
5.
Pandangan Ibnu Khaldun tentang
pembelajaran.
Dalam hubungannya dengan metode pembelajaran, pemikiran Ibnu
Khaldun terlihat dari beberapa hal berikut ini, diantaranya:
a.
Mengajarkan pengetahuan kepada
pelajar hanya akan efektif bila di lakukan dengan berangsur-angsur, setapak
demi setapak dan sedikit demi sedikit.
b.
Pada awalnya, guru hendaknya
mengajarkan tentang soal-soal mengenai setiap cabang pembahasan yang akan
diajarkan, secara umum dan menyeluruh
dengan mempertimbangkan kemampuan akal dan memperhatikan kesiapan
pelajar memahami apa yang akan diberikan kepadanya
c.
Kemudian guru hendaknya menyampaikan
pengetahuan kepada anak didik secara lebih terperinci dan menyeluruh, dan
berusaha membahas semua persoalan bagaimapaun sulitnya agar anak didik
memperoleh pemahaman yang sempurna.
d.
Selanjutnya, guru harus memberikan perbaikan kepada seluruh materi
pelajaran yang diberikan, dengan demikian ia tidak meninggalkan pelajaran yang
tidak jelas dan samar-samar.
e.
Seorang guru tidak boleh memperkenalkan permasalahan disiplin ilmu lainnya
kepada para siswa sebelum para siswa tersebut memahami suatu disiplin ilmu
secara penuh, dan telah pula benar-benar mengenal pelajaran tersebut.
f.
Disamping itu Ibnu Khaldun juga
menyebutkan keutamaan metode diskusi, karena dengan metode ini anak didik telah
terlibat dalam mendidik dirinya sendiri dan mengasah otak, melatih untuk
berbicara, disamping mereka mempunyai kebebasan berfikir dan percaya diri. Atau
dengan kata lain metode ini dapat membuat anak didik berfikir reflektif dan
inovatif.
g.
Ibnu Khaldun tidak menyukai pembelajaran dengan metode “hafalan“, karena
dipandangnya metode tersebut
tidak efektif dalam menanamkan ilmu kepada peserta didik, dan tidak efisien
karena banyak membuang waktu tanpa memberikan hasil yang inginkan.
h.
Ibnu Khaldun juga tidk suka mengajar dengan kekerasan, ia berpendapat bahwa
pengajaran yang dilakukan dengan cara yang keras dan kaku bisa membahayakan
bagi keberadaan murid, terutama padamasa-masa kecil, karena itu merupakan
kebiasaan yang jelek dan akan berdampak menjadi perilaku buruk dan kenakalan
murid dikemudian hari.
6.
Pandangan Ibnu Khaldun
tentang pendidik
Dalam pandangannya tentang seorang pendidik Ibnu Khaldun
memberikan beberapa penjelasan, diantaranya adalah:
a. Ibnu Khaldun
memberikan petunjuk bahwa seorang guru pertama sekali harus mengetahui dan
memahami naluri, bakat dan karakter yang dimiliki para siswa.
b. Ibnu Khaldun menganjurkan agar para guru bersikap dan
berperilaku penuh kasih sayang kepada peserta didiknya, berperilaku lembut dan tidak menerapkan perilaku
keras dan kasar. Sebab, sikap demikin dapat membahayakan peserta didik, bahkan
dapat merusak mental mereka. Ibnu Khaldun dapat juga menerima adanya “hukuman”
bagi peserta didik apabila sudah tidak ada jalan lain, jadi hukuman tersebut
merupakn pilihan terakhir didalam mengatasi masalah, dan itupun harus dilakukan
secara adil dan setimpal.
c. Keteladanan guru
merupakan keniscayaan dalam pendidikan, sebab para peserta didik menurut Ibnu
Khaldun lebih mudah dipengaruhi dengan cara peniruan dan peneladanan serta
nilai-nilai luhur yang mereka saksikan. Fungsi guru dalam pendidikan Islam
memang bukan sebatas sebagai pengajar bidang studi, tetapi berfungsijuga
sebagai pemimpin yang membuat perbaruan dan perbaikan melalui keteladanannya.
d. Seorang guru harus mngetahui kondisi kejiwaan dan
kesiapan peserta didiknya ketika hendak memberikan pelajaran.
D. Kesimpulan
Mengakhiri tulisan
tentang konsep pendidikan dalam pandangan Ibnu
Khaldun ini ada beberapa hal yang menurut hemat penulis perlu mendapatkan
perhatian. Yakni, bahwa
sebagai ilmuan yang juga sejarawan Ibnu Khaldun telah banyak turut mewarnai
pemikiran-pemikiran tentang pendidikan. Dia telah mencanangkan
dasar-dasar dan sistem pendidikan yang patut diteladani baik di masa lalu
maupun masa sekarang.
Dari segi metode,
materi, maupun pendangannya tentang
guru dan peserta didik yang ditawarkan secara keseluruhan pantas untuk
dikaji dan dicermati. Walaupun di
dalam menuangkan tentang pandangannya terhadap filsafat pendidikan Ibnu Khaldun
hanya mengemukakan secara garis besar, namun harus diakui bahwa sumbangannya
terhadap proses pendidikan cukuplah besar. Dia telah menyajikan
pandangan-pandangannya dalam bentuk orientasi umum, sehingga dia mengatakan
bahwa aktifitas pendidikan bukan semata-mata bersifat pemikiran dan perenungan,
akan tetapi ia merupakan gejala sosial yang menjadi ciri khas jenis insani, dan
karenanya ia harus dinikmati oleh setiap makhluk sosial yang bernama manusia.
Karena orientasi pendidikan menurutnya adalah bagaimana bisa hidup
bermasyarakat.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Begitu juga sosok seorang guru adalah teladan yang patut ditiru, yang mengerti akan kejiwaan peserta didiknya dan bisa menggunakan metode dengan sebaik-baiknya. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.
Adapun metode yang ditawarkan Ibnu Khaldun adalah bersifat intelektualitas, dengan prinsip memberikan kemudahan-kemudahan bagi anak didik, demi terciptanya tujuan pendidikan. Begitu juga sosok seorang guru adalah teladan yang patut ditiru, yang mengerti akan kejiwaan peserta didiknya dan bisa menggunakan metode dengan sebaik-baiknya. Karena menurutnya hakekat manusia itu adalah jiwanya, sehingga jiwanyalah yang akan menentukan hakekat perbuatan-perbuatannya, termasuk perbuatan pendidikan.
Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah, Beberapa Pemikiran Pendidikan Islam, terjemah:
Syamsudin Asyrofi, Yogyakarta: Titian Ilahi Press. 1996.
Alavi, S. M. Ziauddin, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan
Pertengahan, terjemah: Abuddin Nata, Bandung: Angkasa. 2003.
Hasan, M. Tholhah, Dinamika Pemikiran tentang
Pendidikan Islam, Jakarta: Lantabora Press. 2006.
Ibnu Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
terjemah: Ahmadie Thoha, Jakarta: Pustaka Firdaus. 2011.
Nasr, Seyyed Hossein
dan Oliver
Leaman (ed), History of
Islamic Philosophy, London: Routledge. 1996.
Nata, Abudin Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Logos. 1999.
______, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta:
Gaya Media Pratama Jakarta. 2005.
Nurhamzah, Jurnal
Pendidikan Keagamaan Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati, Bandung: Vol.
XXIV, No. 1, April 2009.
Priatna, Tedi, Reaktualisasi Paradigma Pendidikan Islam: Ikhtiar
mewujudkan pendidikan bernilai Ilahiah dan Insaniah di Indonesia (Bandung:
Pustaka Bani Quraisy. 2004.
Ridla, Muhammad Jawwad, Tiga Aliran Utama Teori
Pendidikan Perspektif Sosiologis Filosofis, terjemah: Mahmud Arif, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. 2002.
Sheikh, M. Seed, Studies in Muslim Philoshophy, Delhi: Adam Publisher. 1994.
Sulaiman, Fathiyyah Hasan, Pandangan Ibnu Khaldun Tentang Ilmu dan
Pendidikan, terjemah: Herry Noer Ali (Bandung: Diponegoro. 1987.
No comments:
Post a Comment
trimakasih atas kunjungan dan komentar anda!!!