ABORSI
By: Tu’nas Fuaidah
Perkataan
aborsi dalam bahasa inggris disebut dengan abortion berasal dari bahasa
Latin yang berarti gugur kandungan atau keguguran. Aborsi secara kebahasaan
berarti pengguguran kandungan atau membuang janin. Sedangkan menurut istilah
aborsi mempunyai beberapa pengertian, diantaranya:
Dari beberapa pengertian di
atas dapat dikatakan bahwa, aborsia adalah suatu perbuatan untuk mengakhiri
masa kehamilan dengan mengeluarkan janin dari kandungan sebelum janin itu dapat
hidup diluar kandungan. Dalam bahasa Arab disebut dengan اسقاط
الحمل
Dalam al-Qur’an dan hadis tidak dijelaskan secara
rinci dan tegas tentang masalah aborsi, akan tetapi Islam seperti agama lain
menjunjung tinggi kesucian kehidupan. Terdapat sejumlah ayat-ayat dalam al-Qur’an
yang menjelaskan tentang ini diantaranya:
“Dan sesungguhnya telah kami muliakan anak-anak
adam, kami angkut mereka didaratan dan dilautan, kami beri mereka rizqi dari
yang baik-baik dan kami lebihkan mereka dengan kelebihan yang sempurna atas
kebanyakan makhluk yang telah kami ciptakan.”
“Barang siapa yang membunuh seorang manusia, bukan
karena sebab-sebab yang mewajibkan hokum qis}as},
atau bukan karena membuat kerusuhan dimuka bumi, maka seakan-akan dia
telah membunuh manusia seluruhnya. Dan barang siapa yang memelihara keselamatan
nyawa manusia semuanya.”
Selain menjunjung tinggi kehidupan, dalam al-Qur’an juga terdapat
ayat-ayat lain yang mengingatkan manusia agar tidak melakukan pembunuhan.
“Dan janganlah kamu membunuh nyawa seseorang yang
dilarang Allah kecuali dengan alasan yang benar.”
“Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu karena
takut melarat. Kamilah yang member rizqi kepada mereka dan kepadamu juga.
Sesungguhnya membunuh mereka adalah dosa yang besar.”
“Apabila bayi-bayi perempuan yang dikubur
hidup-hidup ditanya. Karena dosa apakah dia dibunuh.”
“Janganlah kamu membunuh dirimu, sesungguhnya Allah Maha
pengasih padamu.”
Dari beberapa ayat diatas kita dapat menganalisis implikasi ayat-ayat
yang disebutkan diatas. Ayat (no.2 dan 3) secara eksplisit menyebutkan bahwa
kehidupan manusia itu suci sehingga tidak dapat diakhiri kecuali bila dilakukan
untuk suatu sebab, seperti dalam eksekusi atau dalam perang. Ayat (no.4 dan 5)
merujuk pada kebiasaan yang terjadi pada masa bangsa Arab zaman dahulu sebelum
Islam, yaitu wa’d, penguburan hidup-hidup terhadap bayi-bayi wanita. Sedangkan
ayat (no.6) merujuk pada tindakan mencabut nyawa (bunuh diri yang merupakan dosa
besar menurut Islam). Selanjutnya ayat (no.1) isinya meringkas pesan alQur’an
mengenai kesucian kehidupan manusia.
Selain
beberapa ayat di atas, Nabi juga pernah bersabda tentang larangan pembunuhan,
yaitu:
Kini, harus diperhatikan bahwa meskipun semua
ayat dan hadist yang disebutkan diatas, memang mempunyai hubungan langsung
dengan kesucian kehidupan umat manusia sebagai satu kesatuan, namun tidak
satupun yang berhubungan langsung dengan masalah aborsi. Meskipun begitu
tidaklah mustahil untuk menyangkal bahwa al-Qur’an dan hadis memandang kehidupan
dalam bentuk apapun haruslah dipelihara dan tidak boleh dihancurkan
kecuali untuk suatu sebab atau alasan yang benar.
Muhammad Mekki Narici
mengatakan bahwa semua Literatur hukum Islam dari madhab-madhab yang ada
sepakat untuk mangatakan bahwa aborsi adalah perbuatan aniaya dan sama sekali
tidak diperbolehkan kecuali jika aborsi di dukung dengan alasan yang benar. Al-Qardhawi
mengatakan bahwa semua ulama Islam berendapat bahwa aborsi, setelah terjadinya ruh pada janin adalah haram
dan merupakan kejahatan. Tidak seorang muslimpun boleh melakukannya karena ini
merupakan kejahatan terhadap makhluk hidup yang telah sempurna hidupnya.
Ibn ‘Abidin salah seorang pelopor madhab ini,
mengatakan bahwa izin untuk menggugurkan
bergantung pada keabsahan alasan yang sah untuk melakukan aborsi sebelum
bulan keempat kehamilan adalah dalam kasus adanya bayi yang sedang disusui.
Kehamilan baru, meneyebabkan berakhirnya masa menyusui bayi ini. Yang
dikhawatirkan bayi ini akan meninggal. Berkenaan dengan ini, maka wanita
diizinkan untuk menggugurkan janin demi kelangsungan hidup bayinya yang
pertama.
Pandangan
madhab ini mengenai aborsi ditemukan dalam hashiyah al-dasuqi. Dikatakan
bahwa tidak diperbolehkan untuk melakukan aborsi bila air mani telah tersimpan
dalam rahim, meskipun belum berumur 40 hari (setelah kehamilan). Setelah
peniupan ruh, aborsi sama sekali diharamkan
Imam al-Ghazali,
salah seorang pemikir terpenting dari madhab ini, dalam ihya ‘ulum al-din mengatakan
bahwa kontrasepsi tidak sama dengan aborsi atau wa’d (mengubur bayi
wanita hidup-hidup). Karena aborsi adalah kejahatan dalam makhluk hidup.
Kehidupan makhluk memiliki tahapan-tahapan. Tahap pertama adalah masuknya air
mani dalam rahim dan bercampur dengan sel telur wanita. Kemudian siaplah ia
menerima kehidupan. Mengganggunya merupakan kejahatan. Bila ia memperoleh ruh
dan telah sempurna bentuknya, maka kejahatannya menjadi lebih berat. Kejahatan
mencapai tingkat yang paling serius bila aborsi dilakukan setelah janin
terpisah (dari ibu) dalam keadaan hidup.
Ibn Qudamah,
dalam al-Mughni, memberikan pendapat madhab ini dengan mengatakan barang
siapa memukul perut wanita hamil dan dia mengalami keguguran karenannya maka
orang yang memukulnya harus memberikan uang tebusan. Begitu juga, bila seorang
wanita hamil meminum obat yang menyebabkan dia keguguran maka dia harus
memberikan uang tebusan juga.
Dari beberapa penjelasan di
atas, maka dapat diambil kesimpulan bahwa semua ulama Fiqh dari seluruh madhab
sepakat bahwa melakukan aborsi sesudah
masa kehamilan 16 minggu merupakan dosa besar dan pantas diganjar hukuman.
Sebagian ulama fiqh menunjukkan kelonggaran sebelum masa kehamilan 16 minggu,
kelonggaran ini juga ditujukan bagi pengguguran yang dilakukan karena
benar-benar terpaksa dan alasan-alasan yang dibenarkan.
Beberapa pendapat menyebutkan bahwa aborsi
diperbolehkan sebelumbulan keempat kehamilan dalam 3 kasus berikut:
Hampir semua ulama fiqh sepakat bahwa jika pada
kasus 1 yang ada di atas itu, aborsi dibenarkan. Tetapi jika nyawa ibu terancam
setelah bulan keempat kehamilan maka masalahnya akan serius. Sebab, setelah
periode 120 hari ulama Islam berpendapat bahwa peniupan ruh telah terjadi,
sehingga janin memiliki hak yang sama untuk hidup seperti ibunya. Akan tetapi
daam kasusu seperti ini Islam mengambil prinsip:
ارتكاب اخف
الضررين واجب
“menempuh salah satu
tindakan yang lebih ringan dari dua yang berbahaya itu wajib”
Hidup satu orang lebih diutamakan dibanding
kehilangan keduanya. Syaikh Syaltut dalam al-Fatawa menganjurkan agar
nyawa ibu dalam kasus tersebut harus didahulukan dan janin digugurkan.
Jadi dalam hal ini Islam tidak membenarkan
tindakan menyelamatkan janin dengan mengorbankan si calon ibu, karena
eksistensi ibu lebih diutamakan, mengingat dia merupakan tiang/ sendi keluarga
(rumah tangga) dan dia telah mempunyai beberapa hak dankewajiban, baik terhadap
Tuhan maupun terhadap sesama makhluk.
Berbeda dengan si janin selama ia belum lahir di dunia dalam keadaan
hidup, ia tidak / belum mempunyai hak, seperti hak waris dan juga belum
mempunyai kewajiban apapun.
Daftar Pustaka
Dasuki, Hafidz, dkk., Ensiklopedi Islam,
Jakarta: Ikhtiyar Baru Van Hotve, 1994.
Hasan, M. Ali, (Ed.), Masail Fiqhiyah
al-Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1997.
Hathout, Hasan, Revolusi Seksual
Perempuan obstetri dan Ginekologi dan Tinjauan Islam, terjemah; Yayasan
Kesehatan Ibnu Sina, Bandung: Mizan, 1996.
Muhammad, Kartono, Teknologi Kedokteran
dan tantangannya Terhadap Giotika, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1992.
al-Qardhawi, Yusuf, Al-Halal wa
Al-Haram fi Al-Islam, Kairo: Maktabah al-Wabah, 1980.
Syaltut, Mahmud, Akidah dan Syari’ah Islam Jilid 2, terjemah:
Fachrudin Hs., Jakarta: Bina Aksara, 1985.
Syaltut, Mahmud, Al-Fatawa, Mesir:
Darul Qalam. tt.
Zuhdi, Masjfuk, Masail Fiqhiyah, jakarta:
PT Toko Gunung Agung, 1997.