BERMESRAAN ALA AL-QUR’AN
Keromantisan dalam sebuah hubungan
adalah sebuah kebutuhan, khususnya dalam hubungan keluarga, dan keromantisan
itu sendiri haruslah beretika secara Islami. Lewat al-Qur’an Islam sudah sangat
jelas dan gambling mengajarkan bahwa kelanggengan sebuah hubungan apalagi biduk
rumah tangga itu harus ada rasa romantic yang terjalin antara suami dan istri,
antara pria dan wanita. okelah, ayo sekarang kita mencoba menggalinya lewat kandungan ayat-ayat al-Qur’an, bagaimana Islam
menggambarkan keromantisan dan etikanya.
Para ahli tafsir hamper sepakat
(ittifaq) kandungan al-Qur’an terkumpul dalam surat Yasin kemudian teringkas
dalam surat al-Fatihah, berangkat dari sinilah timbul rasa penasaran, Adakah
dibenarkan al-fatihah mengakomodir beberapa sendi kehiduapan yang telah di atur
dalam al-Qur’an? Dan keromantisan sudah tersirat cukup hanya di al-Fatihah
saja? Seandainya, kita membahas konsep bercinta lewat semua ayat pasti akan
banyak kita temukan dan mungkin bisa mencapai angka puluhan.
Ketika membuka
al-Qur’an dalam surat al-Fatihah kita temukan ayat 1: bismillahirrahmanirrahim
(dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Reaksi
pertama “menyebut nama” apabila kita cermati, sudah pasti membutuhkan rasa “kenal dan
mengetahui” siapa saja yang akan dan sudah kita cintai?. Modal utama dan paling
utama adalah kenal terlebih dulu, siapa dia? Hal ini tentu sangat
memudahkan kita untuk mencapai derajat tahabbub (saling mencintai).
Redaksi kedua menyebut “yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” ayat ini
mengajarkan kita untuk memposisikan diri
sebagai orang yang lagi pendekatan. Sehingga mengaluarkan ucapan-ucapan yang
memeberikan arti adanya simpati dan menaruh hati sehingga nantinya
perkenalan yang kita jalani tidak berhenti dalam kata teman saja.
Ayat 2: Alhamdulillahi
rabbil alamin (segala puji bagi Allah yang menguasai alam semesta). Simpati
yang kita tebarkan harus dilanjutkan, salah satunya adalah dengan cara memberikan
pujian. Karena dengan memuji, orang akan merasa tersanjung dan berada di
atas titik “ketidaksadaran” dan yang perlu diingat pujian harus sejujurnya. Kita
tidak boleh berbohong, karena kejujuran merupakan sendi kelangsungan romantisme
bercinta dalam keluarga.
Ayat 3: Arrahmanirrahiim
(Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Pengulangan ayat disini bukan tanpa
kegunaan, akan tetapi merupakan salah satu dari bentuk penegasan, ketegaran
bahwa pujian yang kita uraikan bukan atas kebohongan, akan tetapi dengan
kejujuran dan kenyataan. Penegasan disini juga merupakan proses meyakinkan,
bagaimana seseorang yang kita kasihi merasa senang, tentram, sekaligus bangga
dengan kekasihnya. Karena pujian yang berulang-ulang sangat dcurigai sebagai
pujian “gombal”, kita harus mencari dukungan dengan perangkat yang lain atau
dengan ayat selanjutnya.
Ayat 4: Malikiyaumiddiin (Tuhan
yang Menguasai hari kemudian). Ayat ini bila kita cermati akan bersifat
rayuan setelah adanya perkenalan, pengakuan dan pujian. Jika memang sudah
demikian, maka sudah saatnya untuk tebar pesona dengan berbagai macam bentuk
rayuan. Rayuan juga harus dengan sejujur-jujurnya dan tidak boleh terlalu
berlebihan suapaya tidak mengundang rasa curiga. Dalam ilmu tafsir, setelah
Rasul membaca ayat ini, Allah mengikutinya dengan ucapan majjadani abdi
artinya hamba-Ku telah memuji-Ku. Munculnya balasan pujian adalah bukti
jelas bahwa cinta kita tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah rangkaian
kata cinta tercurahkan dan kita berhasil mengikat atau sudah ada sinyal tanda
simpati, maka kita bias naik pada trik selanjutnya… hehe
Ayat 5: Iyyaka na’budu wa iyyaka
nasta’in (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku meminta). Setelah
Tuhan mengajarkan pujian dan kata cinta, dalam ayat kelima ini Tuhan
mengajarkan peneguhan diri dengan mendeklarasikan diri untuk senantiasa
mencintainya tanpa yang lain. Hanya kepada-Mu kalimat ini menunjukkan bahwa
cinta kita hanya untuk satu orang saja dan tiada yang lain. Keberadaan serupa
juga terdapat dalam ayat setelahnya (iyyaka nasta’in) hanya saja dalam
ayat ini lebih memberikan keseriusan sehingga
dalam tafsir, Allah menjawab hadza baini wa baina abdi, wa liabdi ma
saala (ini adalah urusan antara aku
dan hambaku dan bagi hambaku kuberikan apa yang ia minta).
Ayat 6: ihdinashiraathal
mustaqiim (tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Pengajaran Tuhan dari sini
ialah hendaklah orang yang saling mencintai (suami istri) tidak berbuat
semena-mena dan semaunya sendiri. Tidak berbuat sombong dan egois. Meminta tolong kepada orang yang kita cintai adalah sesuatu hal yang wajar, bahkan bila
dipupuk dengan seksama akan menghasilkan sebuah keromantisan yang tidak akan pernah ditemukan dalam
lainnya. Hal ini juga dikarenakan antara karakter pria dan wanita terjadi
banyak perbedaan yang bias disempurnakan ketika keduanya saling melengkapi. Apabila
keegoisan dapat diredam insyaallah layar bahtera cinta akan semakin berkembang.
Ayat 7: Shirathalladzina an’amta
alaihim ghairil maghdlubi alaihim waladdallin (yaitu jalan orang-orang yang
telah engkau anugerahkan nikmat padanya dan bukan jalan mereka yang engkau
murkai dan bukan pula mereka yang sesat). Ketika membaca ayat ini Allah
mengikutinya dengan ucapan sebagaimana
ayat kelima “ini adalah urusan antara Aku
dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku Kuberikan apa yang ia minta”. Setelah seorang
suami berjalan dengan ketulusan, sudah
saatnya seorang istri membalasnya dengan hal yang serupa. Kalau dalam ayat
diatas seorang hamba meminta nikmat kepada Tuhannya dan kenikmatan Tuhan hanya
akan diberikan kepada orang yang benar-benar dicintai. Dalam hal bercinta
juga sudah sepantasnya kenikmatan yang
diminta seorang suami harus diberikan
oleh sang istri dan hendaknya sang istri juga tidak akan memberikan kenikmatan
selain kepada orang yang benar-benar ia cintai yaitu sang suami, sehingga hal
ini nantinya akan selaras dengan jawaban Tuhan “ini adalah urusan antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku”
menjadi “ini adalah urusan antara aku dan suamiku tidak ada seorangpun yang
boleh tahu” ….. ssssttt hahaha.
Demikianlah sekilas terobosan
keterangan tentang tafsir al-Fatihah yang memberikan bukti bahwa al-Qur’an benar-benar mukjizat yang tidak
pernah rapuh dan dan lekang karena panas dan hujan. Semoga pembaca bias mengambil
hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshowab.
“Kaki Langit”
No comments:
Post a Comment
trimakasih atas kunjungan dan komentar anda!!!