Wednesday, December 7, 2011

Bermesraan Ala Al-Qur'an

BERMESRAAN ALA AL-QUR’AN



Keromantisan dalam sebuah hubungan adalah sebuah kebutuhan, khususnya dalam hubungan keluarga, dan keromantisan itu sendiri haruslah beretika secara Islami. Lewat al-Qur’an Islam sudah sangat jelas dan gambling mengajarkan bahwa kelanggengan sebuah hubungan apalagi biduk rumah tangga itu harus ada rasa romantic yang terjalin antara suami dan istri, antara pria dan wanita. okelah, ayo sekarang kita mencoba menggalinya lewat kandungan ayat-ayat al-Qur’an, bagaimana Islam menggambarkan keromantisan  dan etikanya.
Para ahli tafsir hamper sepakat (ittifaq) kandungan al-Qur’an terkumpul dalam surat Yasin kemudian teringkas dalam surat al-Fatihah, berangkat dari sinilah timbul rasa penasaran, Adakah dibenarkan al-fatihah mengakomodir beberapa sendi kehiduapan yang telah di atur dalam al-Qur’an? Dan keromantisan sudah tersirat cukup hanya di al-Fatihah saja? Seandainya, kita membahas konsep bercinta lewat semua ayat pasti akan banyak kita temukan dan mungkin bisa mencapai angka puluhan.
Ketika membuka al-Qur’an dalam surat al-Fatihah kita temukan ayat 1: bismillahirrahmanirrahim (dengan menyebut nama Allah yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Reaksi pertama menyebut namaapabila kita cermati,  sudah pasti membutuhkan rasa “kenal dan mengetahui” siapa saja yang akan dan sudah kita cintai?. Modal utama dan paling utama adalah kenal terlebih dulu, siapa dia? Hal ini tentu sangat memudahkan kita untuk mencapai derajat tahabbub (saling mencintai). Redaksi kedua menyebut “yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang” ayat ini mengajarkan kita  untuk memposisikan diri sebagai orang yang lagi pendekatan. Sehingga mengaluarkan ucapan-ucapan yang memeberikan arti adanya simpati dan menaruh hati sehingga nantinya perkenalan yang kita jalani tidak berhenti dalam kata teman saja.
Ayat 2: Alhamdulillahi rabbil alamin (segala puji bagi Allah yang menguasai alam semesta). Simpati yang kita tebarkan harus dilanjutkan, salah satunya adalah dengan cara memberikan pujian. Karena dengan memuji, orang akan merasa tersanjung dan berada di atas titik “ketidaksadaran” dan yang perlu diingat pujian harus sejujurnya. Kita tidak boleh berbohong, karena kejujuran merupakan sendi kelangsungan romantisme bercinta dalam keluarga.
Ayat 3: Arrahmanirrahiim (Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang). Pengulangan ayat disini bukan tanpa kegunaan, akan tetapi merupakan salah satu dari bentuk penegasan, ketegaran bahwa pujian yang kita uraikan bukan atas kebohongan, akan tetapi dengan kejujuran dan kenyataan. Penegasan disini juga merupakan proses meyakinkan, bagaimana seseorang yang kita kasihi merasa senang, tentram, sekaligus bangga dengan kekasihnya. Karena pujian yang berulang-ulang sangat dcurigai sebagai pujian “gombal”, kita harus mencari dukungan dengan perangkat yang lain atau dengan ayat selanjutnya.
Ayat 4: Malikiyaumiddiin (Tuhan yang Menguasai hari kemudian). Ayat ini bila kita cermati akan bersifat rayuan setelah adanya perkenalan, pengakuan dan pujian. Jika memang sudah demikian, maka sudah saatnya untuk tebar pesona dengan berbagai macam bentuk rayuan. Rayuan juga harus dengan sejujur-jujurnya dan tidak boleh terlalu berlebihan suapaya tidak mengundang rasa curiga. Dalam ilmu tafsir, setelah Rasul membaca ayat ini, Allah mengikutinya dengan ucapan majjadani abdi artinya hamba-Ku telah memuji-Ku. Munculnya balasan pujian adalah bukti jelas bahwa cinta kita tidak bertepuk sebelah tangan. Setelah rangkaian kata cinta tercurahkan dan kita berhasil mengikat atau sudah ada sinyal tanda simpati, maka kita bias naik pada trik selanjutnya… hehe
Ayat 5: Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in (hanya kepada-Mu aku menyembah dan hanya kepada-Mu aku meminta). Setelah Tuhan mengajarkan pujian dan kata cinta, dalam ayat kelima ini Tuhan mengajarkan peneguhan diri dengan mendeklarasikan diri untuk senantiasa mencintainya tanpa yang lain. Hanya kepada-Mu kalimat ini menunjukkan bahwa cinta kita hanya untuk satu orang saja dan tiada yang lain. Keberadaan serupa juga terdapat dalam ayat setelahnya (iyyaka nasta’in) hanya saja dalam ayat ini lebih memberikan keseriusan  sehingga dalam tafsir, Allah menjawab hadza baini wa baina abdi, wa liabdi ma saala (ini adalah urusan  antara aku dan hambaku dan bagi hambaku kuberikan apa yang ia minta).
Ayat 6: ihdinashiraathal mustaqiim (tunjukkanlah kami jalan yang lurus). Pengajaran Tuhan dari sini ialah hendaklah orang yang saling mencintai (suami istri) tidak berbuat semena-mena dan semaunya sendiri. Tidak berbuat sombong dan egois. Meminta tolong  kepada orang yang kita cintai  adalah sesuatu hal yang wajar, bahkan bila dipupuk dengan seksama akan menghasilkan sebuah keromantisan  yang tidak akan pernah ditemukan dalam lainnya. Hal ini juga dikarenakan antara karakter pria dan wanita terjadi banyak perbedaan yang bias disempurnakan ketika keduanya saling melengkapi. Apabila keegoisan dapat diredam insyaallah layar bahtera cinta akan semakin berkembang.
Ayat 7: Shirathalladzina an’amta alaihim ghairil maghdlubi alaihim waladdallin (yaitu jalan orang-orang yang telah engkau anugerahkan nikmat padanya dan bukan jalan mereka yang engkau murkai dan bukan pula mereka yang sesat). Ketika membaca ayat ini Allah mengikutinya dengan ucapan  sebagaimana ayat kelima “ini adalah urusan  antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku Kuberikan apa yang ia minta”. Setelah seorang suami  berjalan dengan ketulusan, sudah saatnya seorang istri membalasnya dengan hal yang serupa. Kalau dalam ayat diatas seorang hamba meminta nikmat kepada Tuhannya dan kenikmatan Tuhan hanya akan diberikan kepada orang yang benar-benar dicintai. Dalam hal bercinta juga  sudah sepantasnya kenikmatan yang diminta  seorang suami harus diberikan oleh sang istri dan hendaknya sang istri juga tidak akan memberikan kenikmatan selain kepada orang yang benar-benar ia cintai yaitu sang suami, sehingga hal ini nantinya akan selaras dengan jawaban Tuhan “ini adalah urusan  antara Aku dan hamba-Ku dan bagi hamba-Ku” menjadi “ini adalah urusan antara aku dan suamiku tidak ada seorangpun yang boleh tahu” ….. ssssttt hahaha.
Demikianlah sekilas terobosan keterangan tentang tafsir al-Fatihah yang memberikan bukti bahwa  al-Qur’an benar-benar mukjizat yang tidak pernah rapuh dan dan lekang karena panas dan hujan. Semoga pembaca bias mengambil hikmah yang terkandung dalam al-Qur’an. Wallahu a’lam bisshowab.
                                                                       
“Kaki Langit”

No comments:

Post a Comment

trimakasih atas kunjungan dan komentar anda!!!